Saturday, June 20, 2009

Pertikaian tiga pihak

Akhir-akhir ini isu klasik gue sering kumat. Munculnya kontroversi antara hati dan otak yang ga bisa gue hindari karena satu dan lain hal.

Belum lagi sekarang muncul pihak ketiga, egoisme.

Otak gue yang waras berpikir waras, apa yang seharusnya, bagaimana yang ideal, pokoknya sewaras-warasnya.
Hati gue merana, karena keinginannya bertentangan dengan otak, namun di lain pihak terpaksa mengakui bahwa pemikiran si otak benar adanya.
Egoisme? Pingin menang sendiri dan ga mau peduli dengan si otak dan si hati. Ga peduli dengan konsekuensi, ga peduli dengan kepentingan pihak lain, pokoknya dia mau begitu ya harus begitu adanya.

Gue terjepit.
Lelah dan sedih, karena otak gue berpikir waras tapi hati gue merana karena menginginkannya, dan egoisme gue memaksakan bahwa gue harus memperjuangkan hak gue (tapi si otak mengatakan bahwa jika gue membiarkan si egoisme maju bertempur, gue ga akan menang).

Aduh, bingung.
Apakah gue harus mengalah dan membiarkan otak menang, tapi jadi bersedih hati?

Tuesday, June 9, 2009

Dulu gue beranggapan ada-ada aja kalau di novel ada kiasan, "Kesunyian yang begitu bising." Dua hal yang begitu berbeda, kan? Sangat berlawanan artinya, tapi malah digabungkan dalam sebuah kalimat yang menyatakan kesetaraan makna. Bagaimana mungkin ada kesunyian yang begitu bising? Kalau sunyi ya sunyi. Bising ya bising.

Seiring perjalanan menjadi dewasa, pada akhirnya gue mengerti benar seperti apa rasanya "Kesunyian yang begitu bising" itu. Bahkan juga kesepian yang begitu ramai, begitu nyaring, sampai terkadang menyakitkan. Begitu bergaung, dimana pada saat gue mencapai sebuah titik, gue merasa amat lemah, tidak berdaya, tidak punya kekuatan. Cuma ingin menghempaskan diri dan membiarkan kelenjar airmata berproduksi maksimal. Bagaimanapun, itu artinya gue punya mata yang sehat, kan?