Thursday, October 30, 2008

40 hari


Akhirnya gue memasuki hari terakhir. Buku yang seharusnya dijadwalkan selesai dalam 40 hari, dengan tertatih-tatih namun tetap penuh semangat dan disiplin akhirnya berhasil gue tutup di hari yang mungkin terlambat sekitar 10 hari.
Namun gue tetap bangga bisa menyelesaikannya, dengan tetap menurut pada aturan bahwa satu bab hanya boleh dibaca satu hari. Kesenangan gue dalam membaca membuat gue sulit mengikuti aturan ini, dimana bisa novel 400 halaman bisa selesai hanya dalam dua hari saja. Kadang juga malas untuk meneruskan. Rasanya bisa dibilang gue berhasil melewati ujian-ujian yang walau tidak besar, tapi penting.

Pembelajaran.
Teguran.
Nasihat.
Penghiburan.
Penguatan.

Didasarkan sepenuhnya pada kata-kataNya, buku ini membuka mata gue akan banyak sekali hal. Siapakah gue? Ngapain gue di sini? I'm not just a face in the crowd. Menjadi alatNya dalam mewujudkan rencanaNya.

What? Why? When? Where? Who?
How?

Menakjubkan sekali bahwa detil-detil yang gue miliki, secara sempurna disusun. Tidak ada kesalahan, bahkan pada saat gue merasa ada hal-hal yang salah pada diri gue, sebetulnya Tuhan punya rencana tersendiri buat gue, dan ajaibnya malah memakai kelemahan-kelemahan gue untuk menjadikan nyata rancanganNya.

Menyelesaikan buku ini merupakan suatu pencapaian sendiri buat gue, yang pada saat bersamaan merupakan awal dari langkah-langkah yang baru. Entahlah. Sesuatu yang menyeruak dari dalam diri yang ga bisa dikatakan atau dilukiskan apakah itu.

makanan.. yummy..

Salah satu alasan kenapa gue suka nonton Discovery Travel & Living Channel, selain karena acara jalan-jalannya (bener banget yang orang bilang 'we traveled through television and books'), juga karena acara masak-masakan dan makan.

Hehe.. Secara gue adalah perempuan yang suka sekali makan. Truly a foodlover. Dalam kamus gue, 'rasa' itu cuma ada dua macam: Enak dan enak banget. Ga ada yang ga gue suka. Bahkan daun singkong yang gue agak malas pun, kalau cuma itu yang ada, ya gue makan juga. Hahaha.. Cuma meja dan batu yang ga gue makan.

Walau semua makanan gue suka, hari-hari ini gue lagi kangen sama beberapa makanan:
  • Apple pie-nya McDonald jaman dulu. Sayang sekarang udah ga ada. Kebayang kalau dia masih panas, gigitan pertama adalah kulitnya yang garing renyah, disusul lelehan panas selai apelnya. Hmmmmm... Yummy. Manis, hangat, tempting, pokoknya menyenangkan.
  • Fish n chips-nya Fish&Co. Dagingnya lembut banget, dilapisi tepung luarnya yang renyah dan hangat, diolesi mayonaise sama dikucurin jeruk nipis. Setelah beberapa saat, basah oleh sari jeruk, tepungnya jadi lunak dan langsung hancur di mulut. Tapi tetep enak.
  • Kentang goreng di Amsterdam. Buset ya jauhnya. Tapi memang ga ada yang menyamai. Dijual di kios-kios pinggir jalan, kentangnya bukan kayak french fries beku yang dijual di supermarket. Betul-betul home-made, kentang yang dipotong-potong sendiri dan langsung digoreng (tapi entah dipakein apa sebelum digoreng, karena waktu gue nyoba bikin sendiri, rasanya lain). Dibungkus kertas, seperti jual kacang rebus di sini, lalu dikucuri saus. Ada bermacam-macam sausnya, bisa mayonaise, thousand island, saus tomat atau sambal biasa. Tapi yang paling enak adalah saus daging. Gue lupa namanya apa. Warnanya kecoklatan, kental, berasa daging plus lada hitam. Itu yang paling terkenal dan digemari.
  • Pretzel. Bukan pretzel kecil-kecil seperti yang dijual di sini, tapi yang asli, yang guede. Gue sampai terbengong-bengong lihat si pretzel ini, disuguhin hostparents waktu di Marktoberdorf dulu. Asin, memang, tapi enakkk.. Taburan garamnya yang gruntul-gruntul (bahasa apa sih gruntul-gruntul) bikin roti pretzel ada rasanya. Kalau ga nyaman dengan rasa asinnya, bisa juga diolesi selai kayak roti biasa. Malah tambah asyik rasanya. Terus dicelupkan ke dalam secangkir kopi panas. Hmmmmm.

Hoh.. Lapar..

Tuesday, October 28, 2008

hujan

Sepertinya, akhirnya musim penghujan dimulai juga di Jakarta. Kenapa gue bilang di Jakarta? Karena ada daerah-daerah lain yang sudah dapat musim hujan duluan, dan ada juga yang belum hujan. Jangankan begitu, di Jakarta aja sendiri hujannya ga merata. Bisa hujan lebat di Pasar Minggu, di Percetakan Negara masih kering.

Hujan, buat gue, sarat emosi. Yang lebih seringnya bersifat sendu dan murung. Kalau lagi suasana hati senang, tiba-tiba gelap mendung dan hujan, mood bisa jungkir. Sedikit berkuranglah. Kalau lagi sedih dan murung, hujan seolah menjadi pembenaran dan nambah-nambah kesenduan. Seolah langit juga ikut sedih bersama gue.

Namun banyak juga hal-hal menyenangkan kala hujan. Bergelung dalam selimut, minum secangkir coklat hangat, baca buku dengan latar belakang musik, atau nonton tivi. Hayoooooo, siapa yang ga pernah punya imajinasi macam itu?

Bisa juga jalan-jalan sepayung berdua (bagian yang mau gue skip adalah bagian beceknya, kaki dan celana basah), atau berada di mobil, menelusuri jalanan basah dengan latar musik lembut mengalun. Hohoho.. Siapa yang ga pernah punya imajinasi romantis semacam itu?

Bagaimanapun, gue senang musim hujan sudah dimulai. Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya.

pelampiasan

Apa yang biasanya dilakukan kalau lagi kesal?

Seiring makin dewasanya gue, pelampiasan gue semakin berganti. Dulu waktu kecil, biasanya gue nangis dan meronta-ronta sampai puas, sampai nyokap datang dan merayu-rayu gue. Hehe.. Gedean dikit, pelampiasan gue mulai anarkis: banting-banting barang. Tentunya pilih-pilih juga, kalau pecah-belah yang gue banting, bisa-bisa gue yang dibanting nyokap. Yaaaah, bantal kek, boneka kek (aduh, kasian juga ya boneka-boneka yang tidak bersalah itu), apa pun yang ga membahayakan siapa pun.

Makin gede lagi, belajar anger-management. Mulai belajar nahan diri, nahan tangan, tapi ga bisa dipungkiri pelampiasannya ke kalimat-kalimat yang gue keluarkan. Ga maki-maki juga sih, apalagi sampai ada kebun binatang. Bisa-bisa bokap yang turun tangan. Bukan main tangan, tapi ngebentak anak bungsunya ini. Gue kemudian belajar untuk milih kata-kata juga. Munculnya? Membentuk pembawaan gue yang suka ngomong tanpa mikir. Sinis dan sarkastis yang jadi kebiasaan, bukan saat marah doang.

Sedikit lebih gede lagi, gue belajar untuk diam kalau marah, dan memilih pelampiasan dengan berjalan kaki. Seiring kelelahan, keringat, tenaga yang dikeluarkan, kekesalan gue pun ikut berkurang.

Gue terus memanage diri, namun ada juga satu masa memalukan dimana gue betul-betul kehilangan kendali, dan berteriak-teriak marah di depan umum. Haduh, ga lagi-lagi deh. Benar-benar ga bisa dibanggakan.

Sekarang gue lebih terkontrol lagi dalam menyikapi kemarahan gue. Walaupun mungkin ga lagi banting-banting barang, ga lagi terlalu sering ngomong sinis, dan berjalan kaki pun semakin jarang gue lakukan, gue masih belajar terus untuk penyikapan yang lebih baik lagi. Kekesalan gue masih sangat terlihat melalui tingkah laku, dan jadinya menularkan kekesalan ke orang lain juga. Gue masih belajar, terus belajar, untuk sabar, ga menenggelamkan diri dalam kekesalan, dan memilih melihat hal-hal baik.

Sunday, October 26, 2008

kesempatan yang tertunda

Hari ini gue bersedih untuk seorang teman.

Berkali-kali dia punya kesempatan, dan ga bisa dibilang bahwa dia tidak menggunakan kesempatan yang ada dengan sebaik-baiknya ataupun tanpa rasa bersyukur, namun kesempatan itu hampir selalu terenggut darinya di kala semuanya tinggal sejauh jangkauan tangan. Yang berarti, benar-benar tinggal di depan mata, dan berlangsung justru dalam menit-menit terakhir.

Sekarang terulang kembali. Kesempatan berharga yang dimilikinya, lagi-lagi tidak sampai ke tangannya. Hanya dalam hitungan hari, kurang dalam satu minggu saja.

Kegagalan?
Dia tidak percaya adanya kegagalan. Menurutnya semuanya adalah 'tertunda'. Terus terang, gue sangat kagum dengannya. Pasti perasaannya remuk redam, hampir hancur berkeping-keping, namun dia tetap teguh dan bilang, "Tuhan menjadikan segala sesuatunya baik." Dia percaya bahwa memang Tuhan bilang belum saatnya, dan dia 'dihajar' untuk lebih tekun lagi menanti-nantikan yang terbaik dari Tuhan buat dia. Sangat banyak peluang di saat dia bisa bilang Tuhan tidak adil, dan di sinilah dia diuji. "Dengan semakin beratnya ujian yang harus kita tanggung, berarti kita semakin 'naik kelas', Jo," dia pernah bilang.

"Apa yang gue inginkan belum tentu apa yang gue butuhkan. Cuma Dia yang tahu apa yang paling gue butuhkan, dan itu akan sangat mencukupkan gue," katanya. Ini bukan doa yang tidak terjawab; dijawab, namun jawabanNya adalah, "Belum."

Peristiwa semacam ini pasti pernah kita alami. Penolakan, penundaan. Panen yang kurang berhasil, kalau bahasanya Max Lucado. Namun gue pribadi 'melihat Tuhan' melalui teman yang satu ini, dimana dia memilih untuk terus bersyukur dalam segala hal, di saat banyak sekali peluangnya untuk marah dan berbalik. Gue bertekad untuk bersikap seperti dia di kala hal seperti itu mendatangi gue.

Gue mau bilang apa? Tuhan itu baik..

tampilan baru

Setelah beberapa hari menghabiskan waktu di depan laptop (sumpah, sampe pusing-pusing kepala.. Ga kebayang lagi kok bisa-bisanya dulu ngabisin waktu main The Sims sampe lupa kuliah, lupa mandi, lupa makan) akhirnya siang ini dengan suksesnya gue mengganti layout blog gue.

Dalam sekilas, gue langsung suka dengan ikan pausnya dan warna birunya yang menawan, dan tanpa pikir panjang lagi langsung gue ganti. Mungkin pilihan kali ini agak kekanak-kanakkan, terutama dibandingkan dengan layout sebelumnya. Kali ini pilihan gue jatuh ke gambar kartun, lain banget dengan layout-layout sebelumnya yang bertemakan alam atau binatang.

Toh, masa kanak-kanak bisa direnggutkan dari gue.. Tapi jiwa kanak-kanak itu masih menempati sebuah ruang kehidupan gue :)

Sunday, October 19, 2008

..dalam gelap..

Di tengah-tengah penyampaian Votum dan Salam dalam kebaktian tadi siang jam 11.00, tiba-tiba listik mati! Dengan sigapnya sang pianis mengambil alih karena organ tentunya mati juga, sehingga lagu pembukaan bisa selesai dinaikkan. Pendeta juga agak lumayan harus teriak untuk menyampaikan salam.

Masalah pertama: Gelap. Apalagi kebaktian diadakan di lantai 2, dan cahaya dari luar terbatas.
Masalah kedua: Panas. Apalagi kebaktian jam 11.00 adalah kebaktian yang paling dipadati jemaat.

Namun di tengah-tengah itu, gue samasekali ga terpikirkan soal itu. Yang pertama kali muncul di otak gue dan membuat gue tersenyum adalah bahwa gue tiba-tiba teringat salah satu pengantar renungan harian sekitar sebulan yang lalu. Ceritanya kurang lebih sama. Pokoknya penerangan kurang, jadi semua tidak terlihat terlalu jelas.

Sang pendeta bingung. Kebaktiannya mau diterusin apa ngga ya?

Salah seorang majelis melihat keraguan si pendeta, kemudian mendekat dan berbisik, "Teruskan saja Pak.. Kami masih bisa melihat Tuhan dalam gelap."

Dan tepat itulah yang gue ingat. Memang, pendeta kami tadi siang tidak memperlihatkan tendensi kebingungan itu, tidak ada majelis yang mendekat dan berbisik, dan kebaktian tetap berlangsung baik. Sang pendeta memimpin kami berdoa supaya dalam gelap dan panas pun kebaktian tetap baik, dan kami tetap bisa memfokuskan pikiran kepada dan dalam Dia.

Tetapi justru mati listrik yang terkesan sepele itulah gue kemudian diingatkan bahwa di tengah-tengah 'kegelapan' dan 'kepanasan' yang sedang berkecamuk di dalam diri, Tuhan selalu bersinar.

Gelap. Kanan? Kiri? Kanan? Kiri? Belok mana nih? Apa jangan-jangan lurus? Maju atau mundur? Adalah pilihan gue untuk 'masih bisa melihat Tuhan dalam gelap', atau tidak.

Saturday, October 4, 2008

.....

Terkadang aku benci diriku sendiri. Marah kepada diri sendiri karena sering menyakiti hati orang dengan perkataan-perkataanku yang tanpa pertimbangan. Setelah terlambat baru menyesal. Kenapa sih aku tidak bisa mengendalikan mulutku? Kenapa sih aku tidak bisa mengucapkan hal-hal yang baik-baik saja? Bahkan apa yang kukira baik pun ternyata tidak cukup baik.

Apalagi seringkali aku justru menyakiti perasaan orang-orang yang berarti buatku. Orang yang untuknya aku ingin semuanya yang paling baik, termasuk diriku yang terbaik, walau sarat dengan kelemahan dan ketidakberdayaan.

Apa yang harus kulakukan? Apakah mulai sekarang aku harus diam seribu bahasa, menutup mulutku rapat-rapat untuk menghindari keluarnya kata-kata yang seharusnya tidak diucapkan? Mencuci mulut dengan sabun? Apakah aku musti menggigit bibir dan menyimpan semuanya dalam hati demi mencegah tersakitinya hati dan perasaan orang?

Ukuran dan kesempurnaan


Penggaris=pengukur=standar.

Apa ukurannya seseorang itu pintar?
Apa ukurannya seseorang itu baik atau cantik?
Apa ukurannya seseorang itu berpenampilan baik atau buruk, necis atau tidak?
Apa ukurannya seseorang itu rajin?
Apa ukurannya seseorang itu cocok atau tidak cocok dengan kita?
Apa ukurannya seseorang itu punya pembawaan baik atau tidak?
Apa ukurannya seseorang itu ramah, sopan, mingle, atau tidak?
Apa ukurannya seseorang itu religius atau tidak?
Apa ukurannya seseorang itu sukses atau tidak?
Apa ukurannya seseorang itu laki-laki/perempuan yang baik buat kita?

Dan sejuta pertanyaan lainnya tentang “Apa ukurannya seseorang itu..”

Seringkali kita (baca: gue) tidak menyadari bahwa setiap orang diciptakan Tuhan secara unik. Apa yang dimiliki satu orang belum tentu dimiliki orang lain. Kelebihan seseorang di bagian A, kelebihan gue di bagian B. Lalu, tolok ukur yang muncul pun akan berbeda.

Ukuran-ukuran muncul karena pandangan umum, dan pandangan subjektif kita sendiri. Kita suka mematok ukuran atas seseorang karena apa yang kita inginkan atas orang itu. Dan apa yang kita inginkan itu juga seringkali dibentuk oleh pandangan umum. Kita ingin si A begitu, si B begini, kita ga suka kalau si C begitu. Dan biasanya ada kalimat, “Kalau gue sih,…”

Dulu gue sering menyindir teman-teman gue kalau mereka mulai membandingkan sikap dan tingkah seseorang dengan diri mereka sendiri. “Jangan menyamaratakan pendapat orang lain ama pendapat lo!” gitu gue bilang. Namun pada gilirannya gue juga sering harus ‘menampar’ diri sendiri dengan pernyataan itu. Seringkali gue lupa bahwa gue juga banyak kelemahan di sana-sini.

Gue mau memilih untuk belajar menerima orang lain apa adanya, dan belajar untuk melakukan penyesuaian di sana-sini. Jangan kemauan gue aja yang harus dituruti, atau orang yang harus menyesuaikan diri dengan gue, karena dengan demikian gue mematok standar ‘kesempurnaan’ di diri gue. Selain itu, gue juga harus belajar berhati-hati akan apa yang gue inginkan atas diri seseorang: Apakah gue sendiri sudah memenuhi itu?

Tidak mengapa jika menetapkan standar-standar tertentu atas diri kita, tapi jangan sampai kita mematok ukuran-ukuran yang sama atas orang lain.

Tuhan aja yang sempurna, semua standar yang paling sempurna ada dalam Dia. So? Mari kita belajar melakukan kebiasaan yang menumbuhkan karakter-karakterNya yang sempurna itu dalam diri kita, supaya kita makin serupa denganNya. Bukan sama.