Sunday, August 21, 2011

Toleransi

Di jalan tol, yah, yang paling gampang sih tol Cikampek-Cipularang yang menghubungkan Jakarta dengan Bandung, ada rambu-rambu yang menyatakan batas terendah kecepatan berkendara adalah 60km/jam, dan batas tercepat adalah 80km/jam. Dengan kata lain, itulah batas toleransi yang diperkenankan bagi mobil-mobil di jalan tol.

Di Indonesia sendiri sih peraturan itu jarangggg banget ditepati. Contohlah gue, selalu memacu mobil rata-rata di atas 100km/jam, kalau beruntung bahkan bisa sampai 140-150km/jam. Lain dengan di negara-negara lain.

Oke, posting ini sesungguhnya bukan tentang mobil, tol ataupun batas kecepatan.

Berbicara tentang toleransi, yang mana sayangnya seringkali dilanggar, atau paling tidak dikompromikan, sebetulnya seberapa jauh sih toleransi itu diberlakukan atas suatu tindakan? Terutama jika menyangkut suatu relasi. Apa sih yang menjadi dasar ditentukannya suatu batas toleransi? Dulu di sekolah, ada batas toleransi keterlambatan, 10 menit. Ada batas toleransi panjang rok seragam, selutut. Ada batas toleransi kesabaran, yang mana pasti relatif bagi tiap orang. Apa sih yang sebetulnya dijadikan patokan?

Memang, diri gue yang sekarang mungkin lebih bisa mengembangkan batas toleransi kesabaran. Malah salah satu mimpi gue adalah bahwa suatu hari nanti gue bisa mencapai suatu titik dimana ga ada garis batas kesabaran. Juga demikian halnya dengan memaafkan.

Kalau disangkutkan dengan memaafkan, apakah toleransi itu berarti juga memaafkan sampai dengan batas tertentu? Tapi, bukankan kita harus selalu memberi maaf pada kesalahan apapun? Tapi kalau disangkutkan dengan kompromi, apakah maknanya jadi berubah? Karena, sepengetahuan gue, ada hal-hal yang punya harga mati, alias tidak bisa dikompromikan.

Pada akhirnya, kesimpulan gue ialah, toleransi memiliki beberapa kesamaan makna dengan memaafkan (namun tidak semua); toleransi memiliki beberapa kesamaan makna dengan kompromi (tidak semua); memaafkan memiliki beberapa kesamaan makna dengan kompromi (sekali lagi, tidak semua).

So. Sampai di mana batas toleransi kita bermain makna 'toleransi' ini?

Monday, August 15, 2011

Melangkah


Perubahan. Ada yang bilang revolusi. Ada yang bilang perpindahan. Tapi gue lebih suka menyebutnya melangkah, bergerak maju.

Dalam kehidupan nyata, melangkah secara harafiah tidaklah susah. Dulu waktu masih pergi ke sekolah Minggu, seringkali gue menghitung langkah gue dari rumah sampai ke sekolah Minggu, dan saking banyaknya, biasanya memasuki hitungan ke tiga ratus sekian, gue sudah lupa. Menunjukkan bahwa betapa biasanya kegiatan melangkah ini.

Melangkah, berarti melakukan suatu kegiatan transportasi. Meninggalkan satu titik dan tiba di titik lain. Berpindah. Bergeser. Bukan sekedar bergerak. Segampang itu, sebetulnya, secara kata-kata.

Tidak demikian jika menyangkut sebuah keputusan yang bukan lagi soal mengayunkan kaki. Menghidupi sebuah periode yang sangat luar biasa selama beberapa tahun, gue akhirnya memutuskan untuk melangkah keluar dari sebuah lingkaran, bergerak maju. Bagaimana gue tahu gue bergerak maju? Gue bergerak maju karena gue memasuki suatu masa yang baru, yang belum pernah gue alami. Fase baru. Level baru. Yang belum pernah ditempuh.

Sulit? Luar biasa sulit. Sakit? Pastinya. Keputusan yang akhirnya gue lakukan setelah berbulan-bulan lamanya, bahkan mungkin hampir setahun terakhir, digumuli. Sulit meninggalkan sebuah periode yang luar biasa. Sebuah periode yang mendewasakan gue, menumbuhkan gue secara iman. Sebuah periode luar biasa, dimana gue merasakan excitement hampir sepanjang waktu, getaran-getaran hangat yang menjalar di perut dan naik ke muka dan membentuk senyuman. Sebuah periode dimana gue merasakan kasih Tuhan mengalir lewat seseorang yang tanpa sengaja membawa gue mengenal Tuhan melalui berbagai-bagai peristiwa dalam hidupnya.

Sebuah perubahan yang sangat besar, drastis, signifikan. Melangkah keluar dari sebuah mimpi yang tadinya gue sangat yakini akan menjadi awal dari masa depan gue. Keluar menuju lahan kosong yang baru, yang entah akan membawa gue ke mana, tapi yang gue imani adalah sesuatu yang terbaik di sana.

Jadi di sinilah gue, lebih kuat, sekaligus lebih rapuh. Kuat karena gue sudah dan sedang dilatih, rapuh karena gue sangat membutuhkan Tuhan memeluk gue menjalani masa sulit ini. Melakukan langkah pertama ke fase yang baru. Gue rasa, inilah saat dimana cerita Footprints in The Sand sedang terjadi sama gue. Dimana di pasir hanya terlihat sepasang jejak kaki saja. JejakNya yang sedang menggendong gue.