Monday, August 15, 2011

Melangkah


Perubahan. Ada yang bilang revolusi. Ada yang bilang perpindahan. Tapi gue lebih suka menyebutnya melangkah, bergerak maju.

Dalam kehidupan nyata, melangkah secara harafiah tidaklah susah. Dulu waktu masih pergi ke sekolah Minggu, seringkali gue menghitung langkah gue dari rumah sampai ke sekolah Minggu, dan saking banyaknya, biasanya memasuki hitungan ke tiga ratus sekian, gue sudah lupa. Menunjukkan bahwa betapa biasanya kegiatan melangkah ini.

Melangkah, berarti melakukan suatu kegiatan transportasi. Meninggalkan satu titik dan tiba di titik lain. Berpindah. Bergeser. Bukan sekedar bergerak. Segampang itu, sebetulnya, secara kata-kata.

Tidak demikian jika menyangkut sebuah keputusan yang bukan lagi soal mengayunkan kaki. Menghidupi sebuah periode yang sangat luar biasa selama beberapa tahun, gue akhirnya memutuskan untuk melangkah keluar dari sebuah lingkaran, bergerak maju. Bagaimana gue tahu gue bergerak maju? Gue bergerak maju karena gue memasuki suatu masa yang baru, yang belum pernah gue alami. Fase baru. Level baru. Yang belum pernah ditempuh.

Sulit? Luar biasa sulit. Sakit? Pastinya. Keputusan yang akhirnya gue lakukan setelah berbulan-bulan lamanya, bahkan mungkin hampir setahun terakhir, digumuli. Sulit meninggalkan sebuah periode yang luar biasa. Sebuah periode yang mendewasakan gue, menumbuhkan gue secara iman. Sebuah periode luar biasa, dimana gue merasakan excitement hampir sepanjang waktu, getaran-getaran hangat yang menjalar di perut dan naik ke muka dan membentuk senyuman. Sebuah periode dimana gue merasakan kasih Tuhan mengalir lewat seseorang yang tanpa sengaja membawa gue mengenal Tuhan melalui berbagai-bagai peristiwa dalam hidupnya.

Sebuah perubahan yang sangat besar, drastis, signifikan. Melangkah keluar dari sebuah mimpi yang tadinya gue sangat yakini akan menjadi awal dari masa depan gue. Keluar menuju lahan kosong yang baru, yang entah akan membawa gue ke mana, tapi yang gue imani adalah sesuatu yang terbaik di sana.

Jadi di sinilah gue, lebih kuat, sekaligus lebih rapuh. Kuat karena gue sudah dan sedang dilatih, rapuh karena gue sangat membutuhkan Tuhan memeluk gue menjalani masa sulit ini. Melakukan langkah pertama ke fase yang baru. Gue rasa, inilah saat dimana cerita Footprints in The Sand sedang terjadi sama gue. Dimana di pasir hanya terlihat sepasang jejak kaki saja. JejakNya yang sedang menggendong gue.

1 comment:

Anonymous said...

I think this is one of the most important information for me. And i am glad reading your article. But should remark on few general things, The website style is perfect, the articles is really nice