Thursday, December 25, 2008

My Wonderful God.
He answers my prayers, as always.

Buatku, Dia ga pernah ga mendengar doaku. Buatku, Dia ga pernah ga menjawab doaku. Dalam penantian, Dia melatihku untuk sabar, tetap tekun, tetap berusaha, tetap berharap. Dalam penantian, aku dipersiapkan, ditumbuhkan, dijadikan, dan masih akan terus berlangsung.

Satu perjalanan yang akan dimulai, dan aku percaya bahwa aku tidak akan pernah dilepaskan dari genggamanNya. Satu perjalanan yang aku tidak tahu seperti apa. Yang aku tahu adalah bahwa inilah jawaban Tuhan atas doaku, dan bahwa Ia sendirilah yang akan membawaku memulai ini.

Natal

Hari Natal ini gue mendapat suatu perenungan baru.

Sebenarnya gue dapat perenungan ini dari renungan harian yang gue baca, dimana perikop yang diambil adalah kala Yesus lahir, dan orang Majus datang bawa emas, kemenyan dan mur. Hadiah-hadiah yang dibawa untuk Sang Bayi yang baru lahir.

Buat siapa? Buat Dia.

Seringkali perayaan atau peringatan hari kelahiran Tuhan dirayakan dengan mengesampingkan kenyataan tentang siapa yang ulang tahun. Lupa, mungkin. Atau ga ngeh. Biasanya sibuk nyari kado buat si ini, kado buat si itu. Ga salah, tapinya. Samasekali ga salah. Apa yang salah dengan berbagi berkat? Namun yang juga harus diingat adalah bahwa kita jangan sampai lupa sama Yang Berulang-tahun.

Untuk kado Natal, kita tentu pingin ngasih yang terbaik buat orang yang dituju, terlepas dari mahal atau ga. Apa ya yang dia suka? Kalo gue kasih ini, dia senang ga ya? Cocok ga ya buat dia? Namun kita juga harus ingat: Apa yang udah kita berikan buat Dia yang ulang tahun? Udahkah kita memberi yang terbaik dari kita buat Dia? Untuk Dia malah ga usah mahal secara materi; apa pun yang kita kasih buat Dia, selama dengan hati penuh syukur, dengan tulus, dan dengan segala yang terbaik dari kita, Dia udah senang.

Jadi, tunggu apa lagi? Ayo kita usahakan yang terbaik buat Dia!

Selamat Natal!

Friday, December 19, 2008

Pohon Natal

Masang Pohon Natal selalu jadi keasyikan tersendiri buat gue, kakak gue dan nyokap gue. Mulai dari bongkar-bongkar satu sudut rumah nyari pohonnya, nyeret si pohon keluar, trus ngediriinnya dan ngehiasnya, akhirnya adalah nyapu rontokan 'dedaunan'-nya dan memandang Pohon Natal yang udah jadi dengan rasa puas.

Yang terlewat adalah tahun lalu, saat kami sekeluarga memutuskan untuk pertama kalinya ber-Natal tidak di rumah, tidak pula di kota Jakarta, dan tidak di Indonesia :) Tahun lalu kami masang Pohon Natal mungil yang ga terlalu ribet dan butuh ekstra waktu. Namun ternyata justru asyiknya masang Pohon Natal adalah ribet-ribetnya.

Tadinya kami udah niat mau beli hiasan-hiasan baru buat pohon, karena perasaan kok hiasan kami selain udah tua, udah ga jelas bentuknya, juga rasanya kok dikit ya.. Sirik ama Pohon Natal yang cantik-cantik di mall. Namun setelah gue masang satu demi satu, dipasang semuanya.. Wah, ternyata banyak juga kok. Pohonnya langsung penuh. Dan gemerlapan. Senangnya..

Hiasan-hiasan Pohon Natal kami ternyata banyaknya adalah yang beling alias bisa remuk. Hiasan-hiasan ini udah ada semenjak kakak gue masih kanak-kanak, nah gue masih sangaaaat kanak-kanak. Pernah ngeremukin satu, karena digenggam terlalu kuat :P

Akhirnya masang Pohon Natal juga jadi kegiatan mengenang-ngenang masa lalu. Tiap hiasan ada sejarahnya, ada memorinya. Di puncak pohon, sebuah salib dipasang. Ini salib baru. Yang lama tersimpan rapi di sebuah kotak, bagian bawahnya udah pecah. Perjalanan salib itu menemani kami ber-Natal udah jauh sekali. Berpuluh tahun dan melewati berbagai kota di mana kami pernah tinggal dulu. Sekarang masih menemani kami, tapi kasihan dia udah lelah, jadi disimpan aja dalam box. Jadi kenang-kenangan.

Walaupun akhirnya coreng-moreng debu (setahun gitu lho disimpan), tapi rasa puas dan bahagia membuncah dalam hati, disertai senyuman-senyuman sambil mengenang masa bahagia di masa lalu dan menjalani masa bahagia di masa kini.

Thursday, December 18, 2008

satu masa



Satu langkah maju.
Membuka dan memulai lembaran baru.
Fajar yang baru.
Meninggalkan yang di belakang, menyongsong yang di depan.
Terus melakukan yang baik dan melakukannya dengan semakin baik, dan meninggalkan yang buruk.

Satu tahun yang penuh keajaiban.
Satu masa yang penuh kenangan.
Satu periode yang menumbuhkan, ditumbuhkan, dibangun.
Satu waktu yang penuh berkat, tempaan, kesakitan untuk tujuan yang lebih baik, kemarahan untuk senyum yang lebih lebar.
Satu bagian mulai dimekarkan, dan ditumbuhkan untuk semakin gemilang.

Satu tahun dimana Ia menyatakan kemuliaanNya dengan lebih hebat lagi, dan mengantarkanku memasuki tahun yang lebih luar biasa berlimpah.

Sunday, December 7, 2008

eksistensi

Kemarin, gue dengan bangganya membaca artikel di Kompas yang menulis liputan konser PS Unpar, 'Magical Christmas'. Bangga dong.. Untuk pertama kalinya konser Natal Unpar masuk koran. Biasanya yang diulas adalah konser-konser tahunannya, kompetisi KPS-nya, atau event-event keberangkatan ke luar negerinya (sombong ahhhh....). Artikel ini mengulas tentang eksistensi PS Unpar yang terus berlanjut walau sekarang sudah semakin banyak paduan-paduan suara bagus bermunculan di Indonesia.

Bicara tentang eksistensi, menurut pendapat gue itu adalah hal yang berkaitan erat dengan pengakuan. Pengakuan tentang keberadaan suatu hal. Diakui keberadaannya. Sebagai seseorang, sebagai suatu organisasi, sebagai suatu kesatuan, unit, sebagai seseorang dengan kedudukan tertentu atau status tertentu, dan banyak lagi.

Dalam bentuk keimanan kita, Tuhan pun diakui eksistensiNya sebagai Sang Maha.

Penting bagi seseorang untuk diakui eksistensinya bukan saja sebagai manusia, namun juga sebagai apa adanya dia. Sebagai sahabat, teman, keluarga, adik, kakak, saudara, ayah, ibu. Menyatakan dirinya punya suatu posisi, kedudukan dan porsi masing-masing dalam unit yang bersangkutan, keterikatan fisikal dan emosional - dalam artian positif, bahwa kita adalah makhluk sosial, yang ada untuk satu sama lain, connected, membutuhkan-dibutuhkan. Bohong besar kalau orang bilang dia ga butuh orang lain. Orang paling anti-sosial sekalipun butuh diakui dan punya eksistensi.

Dengan demikian, mungkin akan sangat menyakitkan rasanya kalau kita mengira kita punya eksistensi tertentu dalam suatu unit, tetapi turns out to be ga begitu kenyataannya. Atau paling tidak, tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan.

Tetapi gue bersyukur karena gue punya pegangan. Seseorang yang sangat mengakui eksistensi gue sebagai apa adanya gue dan kedudukan gue. Seseorang yang tidak akan pernah mengecewakan gue dalam pengharapan akan eksistensi gue di unit manapun gue berada. Seseorang yang memberikan pengakuan atas eksistensi gue itu melebihi apa yang gue kira. Seseorang yang sangat menganggap gue berarti.

Dia bilang, "You are not just a face in the crowd.. You are not forgotten, child."
Dialah Pangeranku Yang Setia :)

Sunday, November 30, 2008

hidung yang malang

Setelah kurang lebih lima tahun lamanya terjebak kecanduan obat - jangan dulu mikir negatif. Ini memang negatif tapi ga sesinting itu - dan merasa bisa gila kalau ga ada obat itu, akhirnya gue berhasil sembuh.

Ini dongeng si obat tetes hidung. Semua temen-temen gue tahu bahwa gue punya kecanduan gila sama obat ini. Gue sampai dibilang pecandu, ngobat, dsb.

Penyakitnya adalah mampet hidung. Sebetulnya gangguan pernapasan ini sudah berlangsung sejak masa sekolah menegah atas, namun pada waktu itu gue abaikan. Ternyata kakak gue punya masalah yang sama, dan setelah berobat ke dokter ia diberikan obat tetes hidung namanya 'Iliadin'. Alesannya, obat tetes hidung merek 'Otrivin' harganya mahal :P Singkat cerita, kakak gue beberapa kali menawarkan obat semprot hidung ini. Dia bilang ampuh banget. Tetapi karena gue pikir gue bisa kecanduan, jadi gue tolak.

Selama beberapa saat, sampai awal masa kuliah, gue ga pernah bisa bernapas normal. Hidung selalu mampet, tapi ga ada ingus. Bukan sinusitis. Parahnya, asupan oksigen ke otak jadi berkurang, dan jadinya kepala suka pusing. Yang paling sengsara adalah waktu tidur. Satu-satunya cara adalah napas lewat mulut. Ini juga bikin sakit tenggorokan. Serba salah.

Sampai suatu waktu gue menyerah dan nyobain obat semprot hidung ini. Hasilnya? WOW! Untuk pertama kalinya sejak sekian tahun, akhirnya gue betul-betul bisa napas!

Dan inilah yang memulai perjalanan gue sebagai 'pemakai'. Satu botol cukup untuk 10 hari, dan dalam sehari gue pakai 3-4 kali. Padahal jelas-jelas di petunjuk pemakaiannya, ga boleh sering-sering. Tapi ya gimana? Wong jadi enak napas..

Berbagai advis disampaikan supaya gue pakai cara ini, cara itu, supaya gue bisa berhenti pakai obat dan sembuh. Kadang-kadang kepikiran ngeri juga kalau gue dihadapkan pada situasi dimana gue ga bisa buka mulut tapi hidung ga bisa napas?? Hiii.. Belum lagi kalau akhirnya jadi kebal karena sering pakai, plus kerusakan yang mungkin terjadi gara-gara tingkat pemakaian yang tinggi?

Malas dan alasan ga ada waktu jadi senjata gue untuk ga pergi memeriksakan diri. Toh, gue pikir, gue udah menemukan penyelesaiannya. Si Iliadin obat semprot hidung itu.

Sampai suatu hari seseorang menyatakan keberatannya kalau gue pakai obat itu. At least saat bersama dia, gue ga boleh pakai. Demi kebaikan gue sendiri, dia bilang. Secara halus - dan akhirnya keras - dia memaksa gue periksa ke dokter. Akhirnya satu hari gue pergi ke dokter. Si dokter mendiagnosa alergi kelembaban, rhinitis alergi. Sedaftar resep obat untuk satu minggu pun dibuat.

Dan setelah satu minggu? Gue sembuh... Ga ada lagi obat hidung. Sembuh total. Hanya, gue harus betul-betul jaga kebersihan lingkungan gue. Ga boleh ada debu, kamar harus dijaga ga lembab.

Hmm.. Yang penting, gue sehat! Hore!

Friday, November 28, 2008

rasa


Yang dirasakan sekarang?
Seperti bunga yang baru mekar.
Bunga cantik yang meliuk lucu di vas.
Tempelan-tempelan glowing in the dark.
Apel merah yang baru dicuci.
Aneka buah-buahan dengan warna ceria di keranjang.
Sepatu yang baru digosok.
Balon yang membubung tinggi.
Gelembung-gelembung.

Kenapa rasanya gue berkilau?
Kayak gigi yang baru disikat.
Jendela kena pantulan sinar matahari.

Ah. Ngelantur.

Saturday, November 22, 2008

Satu tahun

Satu tahun yang sangat berharga. Ga bisa ditukar dengan apapun. Ga mau ditukar dengan apapun. Lebih banyak bunga yang tumbuh, panen yang berlimpah, juga lebih banyak hujan tercurah, gelas yang remuk, kayu yang patah daripada tahun-tahun sebelumnya yang dialami.

Ga ada yang sama. Melewati satu tahun yang seperti apapun, semuanya tidak akan pernah ada yang tidak berubah.

Semua perubahan berjalan sesuai dengan temponya, semua perubahan terjadi sesuai masanya. Seolah perlahan, namun semuanya sudah diatur. Setiap kepingan akan jatuh di tempatnya, yang sudah jatuh mulai memperlihatkan bentuk. Semuanya sudah dimulai, dan tidak akan berhenti sampai selesai. Tidak akan ada antiklimaks.

Suatu hari yang mengawali semuanya, sampai memenuhi jangka waktu satu tahun. Dalam pada itu Ia tersenyum dan menampakkan wajahNya, ikut bersedih kala ada kesedihan, dan ikut tertawa saat waktunya menyenangkan. Belajar untuk bersandar, dan untuk pertama kalinya merasakan penuhnya rasa damai dalam diri saat betul-betul meletakkan kepala di pangkuanNya, dan kenyamanan saat menyelip masuk berlindung di bawah sayapNya.

Satu tahun yang sangat luar biasa dan sangat penuh berkat. Setiap hal yang dimaksudkan untuk kebaikan, untuk mulai dewasa, semakin bertumbuh, semakin gemilang.

Selamat ulang tahun.

Sunday, November 16, 2008

si jelek

Beberapa hari yang lalu gue mendengar satu kalimat yang dilontarkan Joyce Meyer di televisi, tentang sekumpulan wanita yang terdiri dari ibu rumah tangga, wanita karier, single mother, mahasiswa yang dalam kehidupan keseharian terkadang menyesali diri atas apa yang ingin mereka lakukan namun tidak bisa karena ketidakpunyaan.

Dia bilang, kurang lebih demikian:
"Yang terpenting sekarang adalah menitikberatkan pada apa yang kita miliki; bukan pada apa yang tidak kita punyai. Tidak ada gunanya merasa bersalah. Iblis senang pada orang yang terus menerus merasa bersalah karena perasaan semacam itu menghalangi berkat Tuhan yang mau disampaikan."

Ya. Dengan cara apapun iblis akan menjauhkan manusia dari berkat-berkat Tuhan, sehingga tidak ada damai sejahtera di dalam diri manusia. Dan si bego itu seneng banget kalau demikian adanya.

Jadi kenapa seringkali gue merasa menyesal karena tidak bisa melakukan ini atau itu? Atau kenapa gue tidak punya ini atau itu? Kenapa gue lebih suka membiarkan perasaan-perasaan kacau tinggal di dalam diri gue dan malah menikmati sensasinya? Kenapa gue lebih memilih itu daripada melepaskan semuanya dan menaruhnya di kaki Tuhan untuk kelegaan dan damai sejahtera di dalam hati?

Worst of all: Kenapa gue membiarkan si konyol bertanduk itu bersenang-senang atas penderitaan gue dan kenapa gue ngijinin dia untuk singgah?

Beranikah gue pasang tampang, dan dengan garang mengusirnya, "Minggir lo, dasar jelek!" dan sepenuhnya bersukacita karena Tuhan?

Harus bisa, atuh! Aku kan anak Tuhan! Bersyukurlah atas apa yang kita miliki dan pergunakan itu sebaik-baiknya seperti yang Dia ingini untuk kita lakukan!

Thursday, October 30, 2008

40 hari


Akhirnya gue memasuki hari terakhir. Buku yang seharusnya dijadwalkan selesai dalam 40 hari, dengan tertatih-tatih namun tetap penuh semangat dan disiplin akhirnya berhasil gue tutup di hari yang mungkin terlambat sekitar 10 hari.
Namun gue tetap bangga bisa menyelesaikannya, dengan tetap menurut pada aturan bahwa satu bab hanya boleh dibaca satu hari. Kesenangan gue dalam membaca membuat gue sulit mengikuti aturan ini, dimana bisa novel 400 halaman bisa selesai hanya dalam dua hari saja. Kadang juga malas untuk meneruskan. Rasanya bisa dibilang gue berhasil melewati ujian-ujian yang walau tidak besar, tapi penting.

Pembelajaran.
Teguran.
Nasihat.
Penghiburan.
Penguatan.

Didasarkan sepenuhnya pada kata-kataNya, buku ini membuka mata gue akan banyak sekali hal. Siapakah gue? Ngapain gue di sini? I'm not just a face in the crowd. Menjadi alatNya dalam mewujudkan rencanaNya.

What? Why? When? Where? Who?
How?

Menakjubkan sekali bahwa detil-detil yang gue miliki, secara sempurna disusun. Tidak ada kesalahan, bahkan pada saat gue merasa ada hal-hal yang salah pada diri gue, sebetulnya Tuhan punya rencana tersendiri buat gue, dan ajaibnya malah memakai kelemahan-kelemahan gue untuk menjadikan nyata rancanganNya.

Menyelesaikan buku ini merupakan suatu pencapaian sendiri buat gue, yang pada saat bersamaan merupakan awal dari langkah-langkah yang baru. Entahlah. Sesuatu yang menyeruak dari dalam diri yang ga bisa dikatakan atau dilukiskan apakah itu.

makanan.. yummy..

Salah satu alasan kenapa gue suka nonton Discovery Travel & Living Channel, selain karena acara jalan-jalannya (bener banget yang orang bilang 'we traveled through television and books'), juga karena acara masak-masakan dan makan.

Hehe.. Secara gue adalah perempuan yang suka sekali makan. Truly a foodlover. Dalam kamus gue, 'rasa' itu cuma ada dua macam: Enak dan enak banget. Ga ada yang ga gue suka. Bahkan daun singkong yang gue agak malas pun, kalau cuma itu yang ada, ya gue makan juga. Hahaha.. Cuma meja dan batu yang ga gue makan.

Walau semua makanan gue suka, hari-hari ini gue lagi kangen sama beberapa makanan:
  • Apple pie-nya McDonald jaman dulu. Sayang sekarang udah ga ada. Kebayang kalau dia masih panas, gigitan pertama adalah kulitnya yang garing renyah, disusul lelehan panas selai apelnya. Hmmmmm... Yummy. Manis, hangat, tempting, pokoknya menyenangkan.
  • Fish n chips-nya Fish&Co. Dagingnya lembut banget, dilapisi tepung luarnya yang renyah dan hangat, diolesi mayonaise sama dikucurin jeruk nipis. Setelah beberapa saat, basah oleh sari jeruk, tepungnya jadi lunak dan langsung hancur di mulut. Tapi tetep enak.
  • Kentang goreng di Amsterdam. Buset ya jauhnya. Tapi memang ga ada yang menyamai. Dijual di kios-kios pinggir jalan, kentangnya bukan kayak french fries beku yang dijual di supermarket. Betul-betul home-made, kentang yang dipotong-potong sendiri dan langsung digoreng (tapi entah dipakein apa sebelum digoreng, karena waktu gue nyoba bikin sendiri, rasanya lain). Dibungkus kertas, seperti jual kacang rebus di sini, lalu dikucuri saus. Ada bermacam-macam sausnya, bisa mayonaise, thousand island, saus tomat atau sambal biasa. Tapi yang paling enak adalah saus daging. Gue lupa namanya apa. Warnanya kecoklatan, kental, berasa daging plus lada hitam. Itu yang paling terkenal dan digemari.
  • Pretzel. Bukan pretzel kecil-kecil seperti yang dijual di sini, tapi yang asli, yang guede. Gue sampai terbengong-bengong lihat si pretzel ini, disuguhin hostparents waktu di Marktoberdorf dulu. Asin, memang, tapi enakkk.. Taburan garamnya yang gruntul-gruntul (bahasa apa sih gruntul-gruntul) bikin roti pretzel ada rasanya. Kalau ga nyaman dengan rasa asinnya, bisa juga diolesi selai kayak roti biasa. Malah tambah asyik rasanya. Terus dicelupkan ke dalam secangkir kopi panas. Hmmmmm.

Hoh.. Lapar..

Tuesday, October 28, 2008

hujan

Sepertinya, akhirnya musim penghujan dimulai juga di Jakarta. Kenapa gue bilang di Jakarta? Karena ada daerah-daerah lain yang sudah dapat musim hujan duluan, dan ada juga yang belum hujan. Jangankan begitu, di Jakarta aja sendiri hujannya ga merata. Bisa hujan lebat di Pasar Minggu, di Percetakan Negara masih kering.

Hujan, buat gue, sarat emosi. Yang lebih seringnya bersifat sendu dan murung. Kalau lagi suasana hati senang, tiba-tiba gelap mendung dan hujan, mood bisa jungkir. Sedikit berkuranglah. Kalau lagi sedih dan murung, hujan seolah menjadi pembenaran dan nambah-nambah kesenduan. Seolah langit juga ikut sedih bersama gue.

Namun banyak juga hal-hal menyenangkan kala hujan. Bergelung dalam selimut, minum secangkir coklat hangat, baca buku dengan latar belakang musik, atau nonton tivi. Hayoooooo, siapa yang ga pernah punya imajinasi macam itu?

Bisa juga jalan-jalan sepayung berdua (bagian yang mau gue skip adalah bagian beceknya, kaki dan celana basah), atau berada di mobil, menelusuri jalanan basah dengan latar musik lembut mengalun. Hohoho.. Siapa yang ga pernah punya imajinasi romantis semacam itu?

Bagaimanapun, gue senang musim hujan sudah dimulai. Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya.

pelampiasan

Apa yang biasanya dilakukan kalau lagi kesal?

Seiring makin dewasanya gue, pelampiasan gue semakin berganti. Dulu waktu kecil, biasanya gue nangis dan meronta-ronta sampai puas, sampai nyokap datang dan merayu-rayu gue. Hehe.. Gedean dikit, pelampiasan gue mulai anarkis: banting-banting barang. Tentunya pilih-pilih juga, kalau pecah-belah yang gue banting, bisa-bisa gue yang dibanting nyokap. Yaaaah, bantal kek, boneka kek (aduh, kasian juga ya boneka-boneka yang tidak bersalah itu), apa pun yang ga membahayakan siapa pun.

Makin gede lagi, belajar anger-management. Mulai belajar nahan diri, nahan tangan, tapi ga bisa dipungkiri pelampiasannya ke kalimat-kalimat yang gue keluarkan. Ga maki-maki juga sih, apalagi sampai ada kebun binatang. Bisa-bisa bokap yang turun tangan. Bukan main tangan, tapi ngebentak anak bungsunya ini. Gue kemudian belajar untuk milih kata-kata juga. Munculnya? Membentuk pembawaan gue yang suka ngomong tanpa mikir. Sinis dan sarkastis yang jadi kebiasaan, bukan saat marah doang.

Sedikit lebih gede lagi, gue belajar untuk diam kalau marah, dan memilih pelampiasan dengan berjalan kaki. Seiring kelelahan, keringat, tenaga yang dikeluarkan, kekesalan gue pun ikut berkurang.

Gue terus memanage diri, namun ada juga satu masa memalukan dimana gue betul-betul kehilangan kendali, dan berteriak-teriak marah di depan umum. Haduh, ga lagi-lagi deh. Benar-benar ga bisa dibanggakan.

Sekarang gue lebih terkontrol lagi dalam menyikapi kemarahan gue. Walaupun mungkin ga lagi banting-banting barang, ga lagi terlalu sering ngomong sinis, dan berjalan kaki pun semakin jarang gue lakukan, gue masih belajar terus untuk penyikapan yang lebih baik lagi. Kekesalan gue masih sangat terlihat melalui tingkah laku, dan jadinya menularkan kekesalan ke orang lain juga. Gue masih belajar, terus belajar, untuk sabar, ga menenggelamkan diri dalam kekesalan, dan memilih melihat hal-hal baik.

Sunday, October 26, 2008

kesempatan yang tertunda

Hari ini gue bersedih untuk seorang teman.

Berkali-kali dia punya kesempatan, dan ga bisa dibilang bahwa dia tidak menggunakan kesempatan yang ada dengan sebaik-baiknya ataupun tanpa rasa bersyukur, namun kesempatan itu hampir selalu terenggut darinya di kala semuanya tinggal sejauh jangkauan tangan. Yang berarti, benar-benar tinggal di depan mata, dan berlangsung justru dalam menit-menit terakhir.

Sekarang terulang kembali. Kesempatan berharga yang dimilikinya, lagi-lagi tidak sampai ke tangannya. Hanya dalam hitungan hari, kurang dalam satu minggu saja.

Kegagalan?
Dia tidak percaya adanya kegagalan. Menurutnya semuanya adalah 'tertunda'. Terus terang, gue sangat kagum dengannya. Pasti perasaannya remuk redam, hampir hancur berkeping-keping, namun dia tetap teguh dan bilang, "Tuhan menjadikan segala sesuatunya baik." Dia percaya bahwa memang Tuhan bilang belum saatnya, dan dia 'dihajar' untuk lebih tekun lagi menanti-nantikan yang terbaik dari Tuhan buat dia. Sangat banyak peluang di saat dia bisa bilang Tuhan tidak adil, dan di sinilah dia diuji. "Dengan semakin beratnya ujian yang harus kita tanggung, berarti kita semakin 'naik kelas', Jo," dia pernah bilang.

"Apa yang gue inginkan belum tentu apa yang gue butuhkan. Cuma Dia yang tahu apa yang paling gue butuhkan, dan itu akan sangat mencukupkan gue," katanya. Ini bukan doa yang tidak terjawab; dijawab, namun jawabanNya adalah, "Belum."

Peristiwa semacam ini pasti pernah kita alami. Penolakan, penundaan. Panen yang kurang berhasil, kalau bahasanya Max Lucado. Namun gue pribadi 'melihat Tuhan' melalui teman yang satu ini, dimana dia memilih untuk terus bersyukur dalam segala hal, di saat banyak sekali peluangnya untuk marah dan berbalik. Gue bertekad untuk bersikap seperti dia di kala hal seperti itu mendatangi gue.

Gue mau bilang apa? Tuhan itu baik..

tampilan baru

Setelah beberapa hari menghabiskan waktu di depan laptop (sumpah, sampe pusing-pusing kepala.. Ga kebayang lagi kok bisa-bisanya dulu ngabisin waktu main The Sims sampe lupa kuliah, lupa mandi, lupa makan) akhirnya siang ini dengan suksesnya gue mengganti layout blog gue.

Dalam sekilas, gue langsung suka dengan ikan pausnya dan warna birunya yang menawan, dan tanpa pikir panjang lagi langsung gue ganti. Mungkin pilihan kali ini agak kekanak-kanakkan, terutama dibandingkan dengan layout sebelumnya. Kali ini pilihan gue jatuh ke gambar kartun, lain banget dengan layout-layout sebelumnya yang bertemakan alam atau binatang.

Toh, masa kanak-kanak bisa direnggutkan dari gue.. Tapi jiwa kanak-kanak itu masih menempati sebuah ruang kehidupan gue :)

Sunday, October 19, 2008

..dalam gelap..

Di tengah-tengah penyampaian Votum dan Salam dalam kebaktian tadi siang jam 11.00, tiba-tiba listik mati! Dengan sigapnya sang pianis mengambil alih karena organ tentunya mati juga, sehingga lagu pembukaan bisa selesai dinaikkan. Pendeta juga agak lumayan harus teriak untuk menyampaikan salam.

Masalah pertama: Gelap. Apalagi kebaktian diadakan di lantai 2, dan cahaya dari luar terbatas.
Masalah kedua: Panas. Apalagi kebaktian jam 11.00 adalah kebaktian yang paling dipadati jemaat.

Namun di tengah-tengah itu, gue samasekali ga terpikirkan soal itu. Yang pertama kali muncul di otak gue dan membuat gue tersenyum adalah bahwa gue tiba-tiba teringat salah satu pengantar renungan harian sekitar sebulan yang lalu. Ceritanya kurang lebih sama. Pokoknya penerangan kurang, jadi semua tidak terlihat terlalu jelas.

Sang pendeta bingung. Kebaktiannya mau diterusin apa ngga ya?

Salah seorang majelis melihat keraguan si pendeta, kemudian mendekat dan berbisik, "Teruskan saja Pak.. Kami masih bisa melihat Tuhan dalam gelap."

Dan tepat itulah yang gue ingat. Memang, pendeta kami tadi siang tidak memperlihatkan tendensi kebingungan itu, tidak ada majelis yang mendekat dan berbisik, dan kebaktian tetap berlangsung baik. Sang pendeta memimpin kami berdoa supaya dalam gelap dan panas pun kebaktian tetap baik, dan kami tetap bisa memfokuskan pikiran kepada dan dalam Dia.

Tetapi justru mati listrik yang terkesan sepele itulah gue kemudian diingatkan bahwa di tengah-tengah 'kegelapan' dan 'kepanasan' yang sedang berkecamuk di dalam diri, Tuhan selalu bersinar.

Gelap. Kanan? Kiri? Kanan? Kiri? Belok mana nih? Apa jangan-jangan lurus? Maju atau mundur? Adalah pilihan gue untuk 'masih bisa melihat Tuhan dalam gelap', atau tidak.

Saturday, October 4, 2008

.....

Terkadang aku benci diriku sendiri. Marah kepada diri sendiri karena sering menyakiti hati orang dengan perkataan-perkataanku yang tanpa pertimbangan. Setelah terlambat baru menyesal. Kenapa sih aku tidak bisa mengendalikan mulutku? Kenapa sih aku tidak bisa mengucapkan hal-hal yang baik-baik saja? Bahkan apa yang kukira baik pun ternyata tidak cukup baik.

Apalagi seringkali aku justru menyakiti perasaan orang-orang yang berarti buatku. Orang yang untuknya aku ingin semuanya yang paling baik, termasuk diriku yang terbaik, walau sarat dengan kelemahan dan ketidakberdayaan.

Apa yang harus kulakukan? Apakah mulai sekarang aku harus diam seribu bahasa, menutup mulutku rapat-rapat untuk menghindari keluarnya kata-kata yang seharusnya tidak diucapkan? Mencuci mulut dengan sabun? Apakah aku musti menggigit bibir dan menyimpan semuanya dalam hati demi mencegah tersakitinya hati dan perasaan orang?

Ukuran dan kesempurnaan


Penggaris=pengukur=standar.

Apa ukurannya seseorang itu pintar?
Apa ukurannya seseorang itu baik atau cantik?
Apa ukurannya seseorang itu berpenampilan baik atau buruk, necis atau tidak?
Apa ukurannya seseorang itu rajin?
Apa ukurannya seseorang itu cocok atau tidak cocok dengan kita?
Apa ukurannya seseorang itu punya pembawaan baik atau tidak?
Apa ukurannya seseorang itu ramah, sopan, mingle, atau tidak?
Apa ukurannya seseorang itu religius atau tidak?
Apa ukurannya seseorang itu sukses atau tidak?
Apa ukurannya seseorang itu laki-laki/perempuan yang baik buat kita?

Dan sejuta pertanyaan lainnya tentang “Apa ukurannya seseorang itu..”

Seringkali kita (baca: gue) tidak menyadari bahwa setiap orang diciptakan Tuhan secara unik. Apa yang dimiliki satu orang belum tentu dimiliki orang lain. Kelebihan seseorang di bagian A, kelebihan gue di bagian B. Lalu, tolok ukur yang muncul pun akan berbeda.

Ukuran-ukuran muncul karena pandangan umum, dan pandangan subjektif kita sendiri. Kita suka mematok ukuran atas seseorang karena apa yang kita inginkan atas orang itu. Dan apa yang kita inginkan itu juga seringkali dibentuk oleh pandangan umum. Kita ingin si A begitu, si B begini, kita ga suka kalau si C begitu. Dan biasanya ada kalimat, “Kalau gue sih,…”

Dulu gue sering menyindir teman-teman gue kalau mereka mulai membandingkan sikap dan tingkah seseorang dengan diri mereka sendiri. “Jangan menyamaratakan pendapat orang lain ama pendapat lo!” gitu gue bilang. Namun pada gilirannya gue juga sering harus ‘menampar’ diri sendiri dengan pernyataan itu. Seringkali gue lupa bahwa gue juga banyak kelemahan di sana-sini.

Gue mau memilih untuk belajar menerima orang lain apa adanya, dan belajar untuk melakukan penyesuaian di sana-sini. Jangan kemauan gue aja yang harus dituruti, atau orang yang harus menyesuaikan diri dengan gue, karena dengan demikian gue mematok standar ‘kesempurnaan’ di diri gue. Selain itu, gue juga harus belajar berhati-hati akan apa yang gue inginkan atas diri seseorang: Apakah gue sendiri sudah memenuhi itu?

Tidak mengapa jika menetapkan standar-standar tertentu atas diri kita, tapi jangan sampai kita mematok ukuran-ukuran yang sama atas orang lain.

Tuhan aja yang sempurna, semua standar yang paling sempurna ada dalam Dia. So? Mari kita belajar melakukan kebiasaan yang menumbuhkan karakter-karakterNya yang sempurna itu dalam diri kita, supaya kita makin serupa denganNya. Bukan sama.

Tuesday, September 30, 2008


O Jesus, I have promised to serve Thee to the end
Be Thou forever near me, my Master and my Friend
I shall not fear the battle if Thou art by my side
Nor wander from the pathway if Thou wilt be my Guide.

O let me feel Thee near me!
The world is ever near
I see the sights that dazzle, the tempting sounds I hear
My foes are ever near me, around me and within
But Jesus, draw Thou nearer, and shield my soul from sin.

Wednesday, September 24, 2008

Friday, September 19, 2008

Gelang karakter

Beberapa minggu yang lalu, gereja membagikan sebuah gelang karet berkancing, tulisannya ‘Karakter Kristus’. Gelang ini dinamakan color ID, karena gelang-gelang tersebut beraneka warna. Kenapa ada embel-embel ‘Karakter Kristus’ dan ID? Karena setiap kita yang memakainya diminta untuk membangun karakter Kristus pada diri sendiri, menyatakan identitas sebagai seorang Kristen. Gelang ini hanya alat bantu; pengingat, membantu memotivasi. Intinya, kita harus punya niat.

Aturan pakainya, kenakan gelang di pergelangan tangan kiri, lalu niatkan selama beberapa periode waktu untuk melakukan karakter rendah hati, pengampunan, kepedulian, dan sabar. Jika berhasil, pindahkan gelang ke tangan kanan. Begitu seterusnya.

Kedengaran gampang? Iya banget. Sangat susah saat melakukannya? Iya banget.

Baru setelah dihadapkan pada ‘tantangan’ itulah gue betul-betul menyadari bahwa gue lebih cenderung ke arah sebaliknya. Sangat sulit untuk rendah hati. Sangat sulit untuk mengampuni orang yang bikin gue kesel. Amat susah untuk tidak egois. Plus, ampun deh kalau soal sabar. Makanya gelang itu kayaknya jarang pindahnya. Gimana mau sekarakter dengan Kristus kalau begini?

Dan ‘tantangan-tantangan’ yang sebetulnya merupakan proses pembelajaran justru jadi sering muncul, lalu ini bukan lagi soal gelang tadi. Misalnya saat ini (19 Sept 2008, 01.35 dinihari), gue berhadapan dengan itu. Beberapa hal terakumulasi jadi satu dan berputar-putar di kepala, dan pada satu saat hampir aja gue mencapai titik didih, ga tahan, betul-betul muak dengan keadaan. Gue seolah ditantang untuk rendah hati, mengampuni, ga egois dan sabar pada saat bersamaan. Gue sadar, gue berhadapan dengan diri gue sendiri. Sebetulnya lawan gue adalah diri gue sendiri, yang tinggi hati, sombong, ga mikirin orang lain, ga sabaran. Mungkin inilah ‘salib’ yang harus gue pikul saat ini. Inilah ‘raksasa-raksasa’ gue saat ini.

Nyaris putus asa waktu kemudian gue sadar, ya ampun, betapa ga bersyukurnya gue. Dengan begini berlimpah berkat dari Tuhan, gue malah ga tahu berterimakasih.

Namun sekarang gue bersyukur. Saat menuliskan ini, gue diingatkan untuk senantiasa minta pertolongan Tuhan, bukan aja saat memakai gelang ini, namun dalam setiap perkara. Gue bersyukur dihadapkan pada hal-hal tertentu karena gue kemudian diasah.. Mungkin beberapa waktu terakhir ini gue ‘tumpul’.

Anyway. Keadaan besok gue ga tahu. Bisa lebih baik, bisa ngga. Tapi gue mau inget untuk selalu minta ditemani Tuhan.

Tuesday, September 16, 2008

Speed


Ada artikel yang bilang orang Sagitarius itu adalah orang yang mementingkan proses dibanding kecepatan menuju target yang dituju. Jadi intinya biar lambat asal selamat.

Nah, gue termasuk Sagitarius yang melenceng dari pernyataan itu. Sesuai tabiat gue yang (masih) sering bertindak atau bicara duluan dan mikir belakangan, gue lebih mentingin kecepatannya daripada prosesnya. Akibatnya prosesnya suka salah, yang penting nyampe dulu. Hehehe.. Paling aman sih adalah menyeimbangkan antara proses dengan kecepatan.

Kesukaan gue akan yang cepat-cepat ini misalnya aja kalau renang. Gue lebih suka gaya bebas, selain karena majunya cepat, nyampenya cepat, juga karena gue ga fasih gaya dada. "Emang kamu mau ke mana sih berenang cepat-cepat? Kan waktunya banyak," seseorang pernah bilang. Hehehe.. Selain itu, gue juga kalau jalan kaki sendirian pasti maunya cepat-cepat. Padahal ga ada yang dikejar juga. Rasanya ga enak membiarkan ada jarak kosong di depan gue dan ga gue manfaatkan.

Tentunya sangat berlaku dan berjaya kala gue nyetir. Gue ga suka ada jarak yang cukup jauh antara gue dengan mobil depan gue. Selain itu, gue ga nyaman dengan pemikiran gue mungkin menunda mobil di belakang gue untuk bergerak lebih cepat. Padahal itu bisa aja cuma prasangka gue. Dan lagi, gue suka memacu batas-batas kecepatan mobil gue. Kalau dia bisa cepat, harus dimanfaatkan dong.

Gue pernah menjajal Jalan Sudirman Jakarta dengan kecepatan 120km/jam. Seru banget! Jam setengah 6 pagi waktu gue masih ngantor dahulu. Kosonggg banget jalannya.
Gue sering menjajal Kuningan dengan kecepatan 100an km/jam, kalau pulang jalan-jalan agak malam.
Gue berhasil mencapai pintu rumah dalam 30 menit dari pintu kost temen gue di daerah Cilandak. FYI, rumah gue Jakarta Pusat. Dalam keadaan normal, bisa satu jam lebih.
Gue berhasil mencapai bilangan Kelapa Gading dalam waktu 35 menit saja dari Pondok Indah.

Seru, kan?
Ngebut memang asyik..

Saturday, September 13, 2008

Piyama dan bunga

Apa hubungannya piyama dan bunga?
Buat gue ada. Bukan karena alesan ada gue di tengah-tengahnya.

Gue mulai keranjingan piyama waktu jaman masih awal-awal kuliah dulu (duh, rasanya udah berabad-abad yang lalu). Sampai-sampai waktu gue mau ulangtahun, gue request piyama. Padahal ga pernah-pernahnya gue request kado ulangtahun. Rasanya aneh aja minta sesuatu buat ulangtahun. Buat gue sih prinsipnya apapun dikasih buat gue, gue terima dengan senang hati. Ga dikasih pun ga apa-apa. Gue juga bukan orang yang suka gembar-gembor, "Eh, gue ulangtahun lho, gue ulangtahun lho.." Trus kenapa kalau ulangtahun? Semua orang juga ulangtahun. Ngapain musti pamer? Ngarep dikasih selamat? Ih.. Ngga banget deh. Yang penting kan kita mengucap syukur dikasih tambahan satu umur lagi, selamat sejahtera sampai di umur yang baru.

Kok jadi curhat dan ngomongin ulangtahun sih?

Anyway. Jadi gue mendapatkan piyama pertama gue (sumpah, gue ga pernah punya setelan piyama. Mungkin dulu waktu masih kanak-kanak banget, tapi gue ga inget..) waktu ulangtahun itu. Lupa yang keberapa. Dari katun lembut, krem, ada reda halus di tepinya, gambarnya mobil, kapal, kecil-kecil gitu. Mulai dari situ, gue hobi beli piyama. Ke manapun gue pergi, pasti nyarinya piyama. Heran juga gue dengan harga piyama yang lumayan mahal. Padahal kan cuman buat tidur doang. Trus, kalau cuman buat tidur doang, kenapa gue demen amat ya? Hmm.

Suatu waktu gue buka lemari, dan agak kaget juga. Bukan karena isinya piyama semua dan gue ga sadar. Tapi karena piama gue sekarang semuanya motif bunga-bunga. Padahal gue ga gitu suka dengan motif bunga-bunga, kayaknya kok cewek banget. WOW! Apakah gue berubah jadi perempuan? ;)

Satu piyama favorit gue belinya di Pasar Baru Bandung. Warna putih, berkerah kayak piyama laki, tapi pinggirannya pink dan motifnya bunga-bunga kecil pink. Itu favorit banget. Gue punyanya mungkin sejak sekitar 2004-2005, sampai sekarang masih gue pakai. Udah belel, tipis, pakaian dalam aja sampai keliatan berbayang, karet celananya udah ganti beberapa kali, udah bolong, tetep aja favorit. Kalau perlu, cuci, kering, langsung pakai lagi. Hehehehe..

Piyama ini hebat. Ikut gue jalan-jalan sampai Taipei, trus Hongkong, tahun 2006 jadi saksi kena darah waktu kepala gue ketimpa di Italia, trus sampai Paris. Hehehehe...

Kayaknya kalau udah menyerupai lap dapur baru gue relakan dia.

Shout to the Lord

"Shout to the Lord" is a popular worship anthem, written by singer/songwriter Darlene Zschech in 1993, published by Hillsong Music Australia. It is sung regularly at many Christian churches, festivals and youth gatherings.

My Jesus, my Saviour
Lord there is none like You
All of my days I want to praise
The wonders of Your mighty love

My comfort, my shelter
Tower of refuge and strength
Let every breath, all that I am
Never cease to worship You

Shout to the Lord
All the Earth, let us sing
Power and majesty
Praise to the King
Mountains bow down
And the seas will roar
At the sound of Your name

I sing for joy at the work
Of Your hand
Forever I'll love You
Forever I'll stand
Nothing compares
To the promise I have In You

Thursday, September 4, 2008

Dari khotbah Joel Osteen

~Jangan melawan angin yang bertiup ke arahmu. Ikuti saja, karena angin itu bisa menjadi angin berkat yang membawamu ke tempat yang lebih baik.
~Tuhan mengguncang anak-anakNya, seperti burung rajawali yang mengguncang sarangnya dan memaksa anaknya belajar menggunakan sayap. Semuanya supaya kita semakin bertumbuh dan lebih kuat.
~Musim berubah. Orang berubah. Bukalah diri untuk perubahan-perubahan, dan diperbaharui Tuhan untuk menjadi lebih baik lagi.
~Get out from your comfort zone! Atau kita tidak akan berkembang. Ada yang lebih baik di luar sana!
~Tuhan membuka pintu dengan caraNya yang ajaib, dan dengan ajaib pula Dia menutup pintu. Tuhan menutup satu pintu untuk membawa kita ke pintu berikutnya. Percaya saja, pasti dibaliknya banyak rancangan indah Tuhan menanti kita.
~Tuhan tidak akan mengijinkan masalah mendatangi kita, kecuali itu akan menjadikan kita semakin kuat, semakin bertumbuh, semakin dibangun di dalamNya.
~Ada masa-masa lalu menyakitkan yang begitu kelam. Tapi semua sudah berlalu. Itu sudah lewat! Musimnya sudah lewat! Tuhan sudah mengampuni dan sekarang saatnya untuk maju. Jangan kembali ke sana. Tuhan sudah menutup pintu itu.


(Dikutip dari salah satu khotbah Joel Osteen tentang perubahan.
Kurang lebih demikian yang dia katakan.. gue lupa kalimat persisnya, tapi itu poin-poin pentingnya. Intinya: Menerima perubahan. Perubahan itu baik, apalagi yang dari Tuhan sendiri. Gbu.)

Tiap orang memang beda!

Gue bertanya-tanya kenapa banyak sekali buku yang membahas perbedaan-perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Gue ga bicara fisikal.

Gue punya dua, Mars and Venus dan Why Men Don't Listen & Women Can't Read Maps. Menuntaskan penasaran gue apa sih sebenernya yang berbeda dari laki dan perempuan sampai harus dibikin buku soal itu. Memang ada perbedaan, tapi sebesar apa sih sampai segitu pentingnya? Laki-laki ya laki-laki. Perempuan ya perempuan. Tuhan menciptakan begitu adanya, ada tugasnya masing-masing, keunikannya masing-masing. Jadi kenapa mesti ribut?

Setelah gue baca, gue mengakui memang ada perbedaan pola pikir, cara pandang, melihat masalah, menanggapi sesuatu, merespon, antara laki-laki dan perempuan. Tetapi ga bisa ditarik garis lurus pembatas yang secara tegas mengkotak-kotakkan laki dan perempuan atas alasan itu. Kenapa? Karena, seperti contoh-contoh yang disebutkan dalam buku, misalnya bahwa perempuan ga bisa baca peta, hey, siapa bilang cewek ga bisa baca peta?? Kami ini cewek-cewek yang nyupir, bodoh kalau ga bisa baca peta. Mau modal nanya doang ama orang? Kalau ga ada orang di jalan? Kapan nyampenya?

Dan katanya perempuan itu cenderung ngomong terus. Apa iya? Temen-temen gue yang cowok banyak juga yang bawel. Malah, hampir semua laki-laki di sekitar gue bawel. Hehehe..

Intinya, ga bisa digeneralisasi bahwa semua perempuan begitu, atau laki-laki begitu. Namun memang ada detil-detil lain yang gue akhirnya sependapat bahwa memang secara garis besar, pola berpikir laki-laki beda dengan perempuan. Tapi ga bersifat mutlak.

Ada yang menganggap pembahasan ini perlu untuk belajar lebih mengenal lawan jenis dan menjembatani perbedaan-perbedaannya. Gue pribadi, menganggap diskusi ini untuk tambahan wawasan saja. Sebab menurut gue, setiap orang, ga peduli jenis kelaminnya apa, pasti beda. Pasti punya keunikan tersendiri. Bukan tanpa alasan Tuhan menciptakan kita masing-masing seperti ini. Bukan kebetulan, tapi justru penuh rencana. Perbedaan apapun memang harus dijembatani, kan? Bukan dari segi jenis kelamin saja.

Gue cenderung fleksibel. "Ya emang orangnya begitu," alias menerima apa adanya, bukan dimasalahkan kenapa bisa beda, dan sekaligus menyesuaikan tanpa menghilangkan identitas. Kita harus menyikapi perbedaan itu bukan dengan maksa dia harus satu kemauan dengan kita atau malah bikin garis tegas yang memisahkan kita dengan dia karena beda. Justru kita belajar untuk memahami orang lain (bukan berarti setuju, lho), berempati, belajar mengendalikan diri supaya garis tegas itu ga muncul.

Perbedaan bisa jadi alat untuk saling melengkapi. Perbedaan yang ada, gue selalu berdoa supaya bisa jadi berkat yang mempersatukan dan menguatkan.

Terdengar mudah? Jangan salah.
Gue masih harus belajar banyak tentang itu..

Sunday, August 31, 2008

Aku dan penghuni rumahku

Mau bilang bahwa rumah gue jorok, bilanglah. Gue kasih kesempatan sebesar-besarnya sekarang.

Gue tahu banget sih, selain nyokap, kakak gue dan gue sendiri, ada juga penghuni-penghuni lain di rumah gue. Wueits, jangan mikir yang serem-serem ya. Ini juga serem sih, tapi mohon dicatat konteks seremnya beda.

Memang, populasi manusia di sini cuma tiga. Satu, sekarang ini. Dengan tega gue ditinggal sendirian di rumah, merana dan sebatang kara, dua manusia lainnya pergi ke Bandung.

Anyway. Jadi melenceng. Nah, sementara gue mengendap, berhibernasi sendirian di kamar dan cuma keluar kalo cari makanan dan kamar mandi, penghuni-penghuni lain bersenang-senang. Dan gue sebel banget. Bukan karena mereka bersenang-senang tanpa ngajak gue, tapi mereka ini bikin ulah.

Satu. Ada kecoa di dalam oven listrik gue. Udah mah ovennya payah, ini ditambah lagi ada kecoa di dalamnya. Mungkin dia mau coba memanggang diri.

Dua. Pas gue ke bak cuci piring di belakang, ada dua ekor cicak. Bukan pacaran lho. Karena kebodohan mereka sendiri, mereka nyemplung ke dalam bak yang licin (walau kering) dan ga bisa keluar lagi. Akibatnya harus gue bikinin jembatan dari sendok kayu supaya mereka bisa keluar.

Tiga. Tikus. Sumpah, tikus. Ga gede sih, tapi tetep ngeselin. Tahu apa yang bikin kesel? Dia wafat dalam posisi cantik yang meringkuk, di kolong meja makan. Mampus deh gue. Masalahnya gue sendirian. Kalo mau nurutin keinginan gue, gue ga mau ngurusin mayat itu. Tapi kalo bukan gue, siapa? Masa mau gue biarin berhari-hari di sana dan mengundang penghuni lainnya ngerubutin dia? Akhirnya dengan mengumpulkan nyali dan berdoa kenceng-kenceng, gue menyodok-nyodok dia pake sodokan sampah, gue masukin kantong kresek dan gue sorong-sorong tuh kantong ke depan biar diangkut tukang sampah besok pagi. Semoga Tuhan mengampuni dia (karena bikin gue panik) dan Tuhan juga maafin gue (karena gue memperlakukan dia dengan kurang hormat, disodok-sodok aja gitu).

Untung ga pake acara ada kalajengking di kamar mandi kakak gue! Kalo ada, lengkaplah sudah..

Thursday, August 28, 2008

Hujan

Tadi sore, Jakarta baru diguyur hujan. Lumayan deras, dan mendungnya udah dimulai sejak pukul setengah lima, yang membuat langit seperti udah jam enam lewat. Sepertinya musim hujan akan dimulai.

Dan hujan pun turun. Setelah ga hujan sekian waktu lamanya, yang paling berkesan buat gue selain bunyinya (dan hujan itu sendiri, tentunya) adalah baunya. Entah kenapa gue senang sekali dengan bau tanah yang baru kena siraman air. Ada sensasi yang muncul waktu menghirup napas dalam-dalam dan mencium bau tanah basah.

Sayangnya, di Jakarta kalau hujan ga terasa terlalu ‘permai’ atau ‘damai’. Di Bandung, kalau hujan udaranya dingin dan menyenangkan. Gue suka berdiri di ruang depan, mandang hujan dari balik jendela. Jalanan yang basah, butiran-butiran air hujan yang meluncur di dedaunan, pohon-pohon mahoni ratusan tahun di pinggir jalan yang ikut menyemarakkan suasana. Sendu, kelabu, namun menyenangkan pada saat yang sama.

Atau berdiri di teras di bawah naungan atap, sedikit kena tempiasan air hujan. ‘Tenggelam’ dan damai dalam mantel hangat tapi tetep ada dingin yang sedikit menyusup, sambil menggenggam secangkir coklat panas yang masih ‘ngebul’. Hmmm..

Semasa kecil di Tawangmangu dahulu, kalau hujan cuacanya lebih dingin lagi. Ya iyalaaaahh, namanya juga di lereng gunung Lawu. Di sini, hujan turun plus kabut tebal. Kalau yang ini judulnya males keluar rumah. Enakan berkumpul sekeluarga di dalam rumah yang hangat, bahkan sampai masang heater saking dinginnya! Kadang-kadang, sesudah hujan reda Papa ngajak kita jalan-jalan dengan mobil ke satu daerah yang agak lebih tinggi lagi tempat kita bisa ngelihat kota Solo terhampar nun jauh di sana, dan waktu kabutnya menghilang,..breathtaking. Kalau hujannya malam hari, yang paling eksotis adalah pemandangan pagi harinya waktu hujan udah berhenti. Rumput bener-bener hijau, wangi, dan basah. Butiran-butiran air bergulir.

Menulis ini bener-bener melontarkan diri gue sendiri ke masa lalu. Beneran, untuk sesaat barusan gue lupa ada di mana, karena nginget-nginget gimana rasanya hujan di sana.

Di Jakarta, hujan ga bikin udara terlalu dingin seperti dua daerah di atas. Cenderung lembab dan berat udaranya. Tapi gue tetep suka berdiri di teras belakang, ternaung canopy, memerhatikan hujan dan tetesannya yang membuat genangan rendah. Selain itu, gue punya kesan mendalam tersendiri tentang hujan di Jakarta. Heart-warming things yang terjadi di kala hujan, dan angan-angan.. Atau menikmati hujan yang menerpa kaca mobil, menyusuri jalanan basah yang penuh lampu warna-warni, ditemani jazz. Gue jadi ga sabar menanti-nantikan musim hujan.

Ada yang mau berbagi pengalaman menyenangkan tentang hujan? :)

Animasi


Wall-E.
Gue nonton film ini dua kali dalam jangka waktu hanya tiga hari. Hehehe… Sekalian memanfaatkan promo buy 1 get 1 debit card salah satu bank tempat gue nabung.

Film ini termasuk salah satu film yang begitu menyentuh gue. Padahal cuman film animasi doang. Dari review yang gue sempet baca sebelum nonton, katanya inilah film animasi yang mengembalikan arti dari animasi itu sendiri sebagai gambar bergerak. Faktor ini juga yang mendorong gue tertarik untuk nonton, selain sepotong thriller-nya yang sempet muncul waktu nonton Kungfu Panda beberapa waktu yang lalu.

Dan bahwa kemudian gue nonton sampai dua kali, rasanya cukup bisa bilang gimana gue suka film ini. Selain moral inti ceritanya yang secara sarkastis, kasar dan mengerikan ngedekripsikan kemungkinan gambaran masa depan bumi akibat global warming kalau ga ditindaklanjuti dari sekarang (bumi yang kotor, ga ada kehidupan, bahkan semua penduduknya lari ke luar angkasa dan jadi gemuk karena begitu dimanjakan teknologi, belum lagi sampai harus ngirim robot ke bumi untuk nyari tumbuhan hidup!), gue juga suka dengan cerita ‘pembungkus’-nya, kisah cinta yang lucu antara si penghancur sampah Wall-E dengan Eve si robot cantik yang punya tugas nyari tumbuhan hidup. Emang dasar guenya aja yang suka ‘meleleh’ sama cerita-cerita model itu :)

Tetapi yang ditulis review itu tentang kembali ke hakikat film animasi, bener banget. Semuanya disampaikan melalui gerakan, perbuatan. Gambar yang bergerak. Ga ada dialog sama sekali. Ungkapan, perasaan, semuanya lewat perbuatan. Perubahan ‘sorot’ mata menggambarkan apakah si Wall-E atau si Eve lagi sedih, marah, tertawa, tersipu, terpesona. Wall-E yang nyeret-nyeret Eve pakai kabel lampu hias waktu dia tiba-tiba hibernasi setelah ketemu tumbuhan, Wall-E yang kesamber petir waktu mayungin Eve, Eve yang panik berat waktu Wall-E hampir penyet, udah mah kesetrum sampai hampir ga fungsi lagi, dan Eve yang sedih banget waktu setelah Wall-E-nya dibetulin malah jadi ga ngenalin Eve-nya lagi. Semuanya melalui sesuatu yang dilakukan, bukan dikatakan.

Action speaks better than words, indeed. A picture paints a thousand words, indeed. Dulu gue ga sependapat, sekarang menurut gue itu sangat betul. Kata-kata tidak cukup bisa melukiskan saratnya emosi atau perasaan, bahkan ada perasaan yang tidak bisa diungkapkan melalui kata-kata.

Tuesday, August 26, 2008

Semua yang campur-campur

Sebagian besar makanan atau minuman yang modelnya dicampur-campur rasanya biasanya enak. Tentunya mengikuti kaidah yang berlaku (kaidaaaaaahhhh.. Emangnya kaidah tangan kanan). Coba aja es campur, rujak, gado-gado, lotek, nasi campur.

Kenapa ya harus dimisalkan dengan makanan? Hmm.. Tau deh. Yang pertama kali muncul di otak adalah makanan, soalnya.

Ada juga model not dicampur-campur. Alhasil bikin chord yang ngga lazim (baca: agak bikin sakit kepala, hehehe). Namanya disonans. Di otak gue, highly associated dengan seseorang yang demen banget bikin chord disonans. Katanya sih, yang disonans-disonans ini semacam 'benang kusut' yang seringkali kita temui dalam kehidupan sehari-hari, yang kemudian mengawali suatu bentuk harmonisasi yang indah setelahnya. Jadi, seperti keindahan chord harmonis yang muncul sesudah yang disonans-disonans itu, begitulah juga kehidupan kita yang terasa bahagia sesudah masalah lewat. Gitu deh kurang lebih.

Yang dicampur-campur, ada juga model pelangi. Warnanya campur-campur, tapi membentuk sebuah keindahan. Bisa diasosiasikan dengan kehidupan majemuk dalam masyarakat kita. Walau berbeda, namun jika berdampingan justru bisa membentuk kehidupan yang damai. Eit, maap, itu bukan dicampur deng judulnya.. Disejajarkan. Kalau warna-warna itu semua dicampur, hasilnya cuman satu: putih. Itu kalau komposisi warnanya semua sebanding. Kalau ngga, judulnya butek.

Tapi jangan karena yang dicampur-campur itu biasanya enak, kemudian semua hal jadi dicampur. Perasaan yang dicampur-campur, emosi yang dicampur-campur, malah menimbulkan hal yang kurang baik.

Hmm.. Tiba-tiba jadi kepikiran es campur.. Sluuurrrrp. Yummy.

Wednesday, August 20, 2008

Ngalor..ngidul..

Tadinya niat mau ganti template, tapi karena belum ketemu yang bagus, jadinya ditunda dulu. Merhatiin gambar fish bowl di atas, jadi inget dulu waktu di kantor lama kalau mau media briefing, pasti salah satu tugas gue adalah bawa-bawa fish bowl untuk tempat kartu nama jurnalis. Hmm, nasib anak bawang.

Heran juga sih, gimana caranya ya ikan-ikan sebanyak itu bisa dijejalin masuk ke satu bowl yang sekecil itu. Diskriminasi banget ga sih jika dibandingkan dengan dua ekor - yup, dua ekor doang - ikan di fish bowl sebelahnya. Tega banget ya mereka berdua. Udah gitu bowlnya lebih besar pula. Sementara temen-temennya yang lain berjejalan fighting for water dan ruang bergerak, kegencet sana-sini, pingsan pun kayaknya ga bisa berbaring (eh, ikan kan ga berbaring, ya.. Kayaknya yang bisa ngalahin adegan itu cuman butir-butir nasi atau cendol dalam gelas, dan lift FE Unpar jam 7.30 pagi.. angkot Kalapa-Dago aja kalah), mereka enak-enakan berdua. Mungkin mereka pacaran. Kalau udah gini, dunia emang serasa milik berdua aja.

Kuku telunjuk kiri gue berdarah. Kayaknya gara-gara bersih-bersih tadi. Ga yakin banget juga sih.. Masa baru sekarang lukanya. Omong-omong bersih-bersih kamar, gue menemukan sesuatu yang melontarkan gue ke masa yang belum terlalu jauh terlampaui. Booklet JakJazz 2007. Dan gue pun tersenyum-senyum sendiri.

Dari kecil dahulu, gue seneng banget sama dua 'wahana' berjudul ayunan dan perosotan. Seinget gue, pertama kali kenalan dengan mereka waktu masih di Tawangmangu dulu, sebelum gue memasuki sekolah. Mainnya di Taman Ria Balekambang seberang rumah. Ketemu lagi waktu di TK. Salah satu penanda adalah copotnya gigi gue untuk pertama kali. Ceritanya main perosotan. Terus kebentur di pipi. Waktu kejadiannya sih ga nangis. Pas pulang, kok kayaknya ada yang salah? "Ma, giginya kok goyang-goyang gini sih?" terus lepas! Baru deh nangis. Hehehe..

Terakhir kalinya gue naik perosotan adalah tahun 2006, di Italia. Waktu mau konser di luar kota. Karena kita nyampenya jauh lebih awal daripada jadwal, kita semua main-main deh di lapangan belakang gedungnya. Kebetulan ada semacam tempat bermain gitu. Ada perosotan.. Hihihihihi.. Sementara yang lainnya ada yang main voli (Ida sampai keseleo dengkul), sepak bola, gue asik menjajal perosotan. Hahahaha..! Ada fotonya di kamera temen gue, lupa gue minta.

Kisah gue dengan ayunan, gue selalu menggenjotnya sampai kayaknya gue mau bikin lingkaran 360 derajat. Hehehe.. Seru aja menantang angin. Kalau ada acara di villanya Ivan, gue ga pernah ketinggalan main ayunan. Baru-baru ini gue menemukan tempat main ayunan yang asik di Jakarta. Moga-moga dalam waktu dekat bisa ke sana lagi.

Gue sakit tenggorokan dan barusan minum obat, jadi ngantuk.

Monday, August 18, 2008

Dirgahayu Indonesiaku!

Perayaan kemerdekaan ke 63?
Agak sepi.. Entah karena kurang ada semangat orang-orang untuk merayakan kemerdekaan Indonesia yang walaupun jatuh bangun tapi berhasil mencapai angka 63, atau karena orang-orang lebih memilih merayakannya dalam keprihatinan, jadi ngerayainnya dalam ketenangan dan perenungan mendalam (hmm, sarcasm mode: on). Mungkin ada juga orang-orang yang lebih menikmatinya sebagai hari libur ketimbang sebagai peringatan hari kemerdekaan bangsa. Tapi, ga semuanya penduduk Indonesia begitu. Gue cuma menuliskan apa yang gue lihat dan gue rasa. Maaf kalau kenyataannya ga seperti itu.

Sejujurnya, mungkin gue sendiri adalah salah satu orang yang ga merayakannya dengan segenap semangat yang dimiliki. Ga terlibat dalam perayaan-perayaan apapun, dan memilih untuk menikmati adanya kemerdekaan itu. Bukan merayakannya dalam arti harafiah.

Namun sebagai pembelaan diri, semenjak gue masih kanak-kanak sejauh gue mulai bisa mengingat-ingat, gue ga pernah ketinggalan ngikutin tayangan upacara hari ulang tahun kemerdekaan di televisi, yang disiarkan langsung dari Istana Negara. Selalu ada excitement tersendiri lihat prajurit-prajurit yang baris-berbaris dengan pedangnya, keseragaman gerakan, sepatu lars putihnya, plus paskibraka yang cool dengan seragam putih-putihnya, deg-degannya naik ke podium untuk 'ngejemput' duplikat bendera pusaka, deg-degannya pas narik bendera (takut kebalik.. aduh amit-amit, ketuk kayu tiga kali), lalu marching bandnya.. Dan berpikir, wuah, apa rasanya ya menjadi salah satu dari mereka. Pasti bangga banget.

Di gereja, sebelum memulai acara kebaktian, majelis meminta semua jemaat untuk berdiri dan bersama-sama nyanyi Indonesia Raya. Entah guenya yang terlalu sentimental, seketika gue terharu dan tersadar bahwa, "Ya ampun.. Indonesia, negara kita ini, udah 63 tahun!"

Umur yang masih pendek, memang. Tapi seperti yang seseorang pernah bilang, gue telah menikmati kemerdekaan itu seumur hidup gue. Tanah dimana Tuhan menempatkan gue, di situ gue dilahirkan dalam keadaan merdeka, ga ada peperangan, ga ada pertanyaan tentang identitas bangsa, dimana gue dibesarkan, dibangun, dikasih makan, hidup yang cukup. Ga ada satupun alasan untuk tidak mengucap syukur. Daripada nyela-nyela pimpinan negara, lebih baik kita doain aja. Toh ga jaminan juga kalau kita yang ada di posisinya mereka kita bisa menjalankan apa yang kita tuntut saat kita tidak di posisinya itu.

Menurut gue, sekarang udah ga jamannya untuk mikir, "Apa yang telah Indonesia berikan untuk kita?", melainkan "Apa yang telah gue berikan untuk negara?" Menikmati kemerdekaan adalah salah satu cara untuk bersyukur. Cara lainnya yang tidak kalah penting adalah mengisinya, memberikan sebagai sumbangsih. Kita masing-masing punya fungsi; tugas dari Tuhan. Sama seperti tangan, punya fungsi dalam kesatuan tubuh, kita pun punya fungsi yang harus dijalankan, sebagai bagian dari sebuah kesatuan negara kita ini.

"..janganlah kamu mempergunakan kemerdekaan itu sebagai kesempatan untuk kehidupan dalam dosa, melainkan layanilah seorang akan yang lain oleh kasih."

Merdeka!

Monday, August 11, 2008

Bersyukurlah..

Bersyukurlah..

Rasa syukur membebaskan mata kita dari hal-hal yang tidak kita miliki, sehingga kita bisa melihat berkat yang kita miliki.

Dalam setiap ketidakberdayaan, ketidakmampuan, keterbatasan, bersyukurlah bahwa Tuhan memelihara kita. Kita justru diberkati, karena Tuhan sendirilah yang akan memenuhkan kekosongan-kekosongan yang ada. Berbanggalah, berbahagialah, karena Tuhan sendiri yang akan melakukan segala sesuatunya untuk kita.

Hitunglah karuniaNya, kumpulkan berkat kita, buat katalog kebaikanNya. Napas, hidup, kesehatan, kaki yang kuat, makanan, keluarga, rumah, teman, waktu, kesempatan... Tuhan berikan semuanya untuk kita. Sebagaimana yang menurutNya terbaik untuk kita. Bukan menurut kita.

Bersyukurlah..

Thursday, August 7, 2008

Ragunan

Sebelum baca posting ini, it is highly advised to read the previous posting.

Taman Margasatwa Ragunan. Kembali ke sini adalah bernostalgia. Terakhir gue ke sini adalah bulan November 2007 silam, waktu gue masih terdaftar sebagai karyawan sebuah biro konsultan humas di bilangan Senopati. Waktu itu gue tergabung dalam satu tim yang kerja untuk sebuah bank besar di Indonesia yang menggalakkan CSR-nya dan menunjukkan kepedulian pada lingkungan, mereka ‘menggarap’ Taman Margasatwa Ragunan.

Turun dari Bus Transjakarta, kami beli karcis masuk. Masih sama dengan terakhir gue ke sana, harga tiketnya Rp4.500. Murahhhh banget ya. Sempat berdebat plus sok tahu soal luasnya kawasan ini (padahal dulu gue ikut nyusun fact sheet event), faktanya Taman Margasatwa Ragunan ini punya area seluas 140 hektar.


Hal yang mengusik kami adalah betapa kurang terawatnya kebun binatang itu, yang bahkan sudah terlihat sejak masuk. Sampah di mana-mana. Memasuki terrarium reptil yang didominasi ular, kandang-kandang kaca tampak kusam. Di kawasan aquarium, ikannya kasihan, yang badannya lebar-lebar punya ruang sama luas dengan ikan-ikan kecil. Di terrarium burung agak lumayan, kandangnya dibikin ga jauh beda dengan habitat aslinya. Si merak dengan sombong mengembangkan ekornya yang cantik, dan kepalanya memamerkan ‘mahkota’nya yang serupa kembang goyang. Ada juga merak yang lagi pacaran sama burung rangkong! Hahaha…



Kandang-kandang macan dihiasi tebing-tebing buatan. Di kandang-kandang primata sama, tapi ada ayunan-ayunannya. Ada bekantan yang baru bangun. Lalu ada hal yang kemudian mengejutkan gue dan membuat gue tertawa, yaitu tempelan tanda petunjuk lokasi bekas event dulu. Belakangan gue baru sadar, astaga, jadi selama 9 bulan tanda ini ga dicabut? Ga dibersihkan?




Berputar dan turun ke area hewan-hewan yang hidup dengan air, terhibur dengan kuda nil. Si hipo dan kawan-kawan sedang mandi dan membuat suara-suara lucu. Kandangnya dibuat serupa dengan habitat asli, cuman aja airnya yaaaaa… Si buaya juga sama.

Berputar-putar lagi, ngelihat unta, banteng dengan tanduknya yang memesona, orangutan. Beruang madu yang mata kecilnya memelas, kepanasan. Lalu beberapa ekor harimau yang hampir semuanya lagi berendam, sementara harimau-harimau yang di balik terali sibuk mondar-mandir dan mengaum-aum, mungkin sebel karena sempitnya ruang mereka. Harimau putih yang biasanya begitu cantik dan angkuh, tampak kurus dan merana, ngadep tembok melulu.

Mengelilingi area yang begitu luasnya memang melelahkan. Tapi cuacanya menyenangkan, langit biru bersih dan hawa ga terlalu panas. Bunyi desir pohon bambu menenangkan. Sebetulnya ‘liburan’ ini menyenangkan. Sayangnya, kondisi kebun binatang yang ‘sepadan’ dengan harganya. Kotor banget. Sampah berserakan di mana-mana. Jorok banget pokoknya. Kasihan hewan-hewannya, pasti stress banget hidup dengan lingkungan kotor kayak begitu. Gue jadi bertanya-tanya soal maintenance-nya. Dulu pihak pengelola pernah bilang, Taman Margasatwa Ragunan setiap tahun selalu dapat anggaran dari pemerintah propinsi untuk pemeliharaan, namun hampir setengahnya selalu ‘hilang’. Halooo?

Bagaimanapun, jalan-jalan ini menyenangkan. Jauh dari hiruk-pikuk mobil, asap. Lihat binatang-binatang yang lucu-lucu dan diciptakan Tuhan dengan indahnya, dengan pesonanya masing-masing. Menikmati kesempatan untuk menikmati keindahan ciptaan Tuhan lainnya.


Setelah semangkuk bakso dan Teh Botol, tiba waktu untuk pulang. Bus Transjakarta, here we come again…

Tamasya dengan Bus Transjakarta

Sejak harga BBM naik (sebenarnya gue hanya mencari kambing hitam atas status pengangguran gue yang ga punya penghasilan tapi maunya seneng-seneng melulu) gue dipaksa untuk mengencangkan ikat pinggang. Bukan karena supaya kurus, hehe. Maksudnya gue harus bener-bener hemat karena saldo tabungan gue makin lama makin sinting tipisnya.

Sebenarnya sudah lama terpikirkan untuk mulai belajar menggunakan fasilitas Bus Transjakarta. Tapi karena selalu ada mobil, plus malas, plus manja, rencana itu selalu tertunda. Kalaupun ga ada mobil, gue naik taxi. Ada aja alasan untuk gue menghindar dari keharusan naik Bus Transjakarta itu. Gue menggunakan bus itu cuman sebatas rumah - Arion Plaza. Hehehe.

Setelah kena marah nyokap gara-gara ngabisin uang di taxi doang, akhirnya gue bertekad kali ini gue bener-bener harus belajar naik fasilitas umum. Ga boleh cari-cari alasan lagi. Kebetulan kali ini ga ada mobil di rumah. Satu-satunya yang bisa ‘memaksa’, alias memotivasi gue adalah “gue harus pergi ke tempat yang jauh dimana kalau gue naik taxi, ongkosnya ga masuk akal mahalnya.”

Mikir, mikir, mikir… Ragunan keluar sebagai jawaban. Dan, gue terberkati dengan adanya dia yang mau menemani gue pelesir di Ragunan. Jadi gue mempersiapkan diri untuk ‘liburan’ satu hari ini. Perjalanan kan jauh. Dari Jakarta Pusat – hampir Timur – ke Jakarta Selatan, ujung pula. Intinya jauh. Sengaja mengosongkan dompet. Lagian sudah cekak pula. Bertekad ga nyari ATM. Harus bisa memanage uang yang ada. Lagian di kebun binatang mana ada ATM?

Ternyata? Seru dan asyik! Haha… Naik dari halte Utan Kayu, nanya penjaga halte di mana gue turun kalau mau ke Kuningan. Akhirnya kebayanglah sama gue stressnya pengemudi Bus Transjakarta itu, apalagi bus yang gue tumpangi tadi pengemudinya perempuan, dan gue kagum ngelihatnya. Orang-orang nyeberang seenaknya di jalur Busway, motor dan mobil yang bandel makai jalur Busway. Apalagi daerah Pasar Rumput. Udah mah jalur jalannya sendiri sempit, ditambah banyak mobil dan motor jalan ga jelas, semrawut, dan mobil-mobil yang parkir di pinggir jalan. Ribet banget. Kalau gue pasti udah ngedumel-dumel, neriakin orang-orang, maki-maki sepanjang jalan. Tapi selebihnya seru. Ga pernah sejauh ini gue naik Bus Transjakarta. Sepanjang jalan gue merhatiin dan ngitung jumlah halte, di halte yang mana dan keberapa gue harus turun. Takut kebablasan atau malah kurang. Tadinya mau sambil denger iPod, gue urung karena gue harus konsen ngedengar halte apa berikutnya. Atas petunjuk kondekturnya, gue turun dari bus koridor IV di halte Dukuh Atas, ganti bus koridor VI yang akan melanjutkan perjalanan gue ke Ragunan. Berdesakan, berebutan masuk dengan orang-orang lain. Akhirnya gue ngerasain berada di dalam Bus Transjakarta yang melaju sepanjang Kuningan, setelah selama ini cuman bisa ngelihat doang.

Terus melaju, para penumpang naik dan turun di tiap halte. Macam-macam penumpangnya. Ada ibu muda bawa dua anak kecil, ada bapak-bapak. Ada yang lusuh, ada yang penuh gaya. Mahasiswa, orang kantoran. Kadang bus penuh berjejalan, kadang kosong setelah melewati halte-halte tertentu. Awalnya berdiri, kemudian duduk, memperhatikan orang-orang turun-naik. Kadang-kadang pengeras suara yang bilang, “Pemberhentian berikutnya..” kadang si mas kondekturnya teriak-teriak. Hehehe. Teruuuuuus…. Melewati KPK, Pasar Festival, Kedutaan Besar Australia, Casablanca, Depkes, Menara Karya, Erasmus Huis. Halte Karet Kuningan, halte Kuningan Timur dan seterusnya… Berhenti di Pejaten tempat dia nunggu, hampir ketinggalan kalau ga gue panggil-panggil, bus terus melaju ke arah pemberhentian terakhir di Ragunan. Bus semakin kosong, ga ada lagi penumpang yang berdiri.

Sangat kurang dari sejam sejak gue berangkat dari rumah (biasanya kalau pakai mobil bisa sejam lebih), plus hanya dengan Rp3.500, bus mencapai perhentian terakhir, dan kami tiba di Taman Margasatwa Ragunan.

Ragunan, be prepare… Here we come!

Monday, August 4, 2008

Aku pingin...


Ada hal-hal menantang yang pingin banget gue lakukan kalau liburan. Beberapa di antaranya:
  • Naek banana boat. Keinginan ini muncul sejak masa masih pakai seragam putih abu-abu dulu, gara-gara waktu berlibur di Pulau Putri, Kepulauan Seribu. Gue cuman bisa snorkeling (plus takut disengat ubur-ubur) sementara dengan siriknya memandang orang-orang seru naek banana boat, nyemplung ke air dan jerit-jerit. Masalahnya adalah gue ga ada temen naek banana boatnya.. Ke sananya soalnya dalam rangka diajakin bokap-nyokap pas acara kantor. Yah yuuukk.. Masa gue ngajak bapak-bapak dan ibu-ibu naek banana boat?
  • Arung jeram. Mulai bener-bener pingin arung jeram-an waktu semasa kuliah dulu, salah satu temen gue muncul dengan mengeluh kulitnya terbakar total oleh matahari, sekaligus dengan bangganya bilang bahwa dia baru pulang arung jeram dari Sungai Citarik.
  • Parasailing. Gue pingin banget nyoba parasailing gara-gara waktu berlibur ke Port Stephens, Aussie, ada yang lagi parasailing. Membubung tinggi di langit, kemudian dengan sengaja diceburin ke air laut yang dingin oleh si pengemudi speedboat, sebelum kemudian ditarik lagi naik dengan kecepatan tinggi untuk melayang di udara. Sayang waktu itu kami ga punya waktu untuk bersenang-senang sendiri dan nyobain parasailing.
  • Paragliding. Dulu waktu masih kadang-kadang lewat Puncak, sekali waktu gue lihat ada yang lagi siap-siap buat melayang pakai gantole, alias paragliding. Mungkin itu rasanya terbang ya. Seolah punya sayap, melayang-layang, takut sekaligus excited.
  • Naek balon udara. Keinginan ini munculnya gara-gara waktu dulu dalam perjalanan dari Amsterdam ke Geleen, gue liat banyak balon udara menghiasi angkasa. Akhirnya bisa lihat itu dengan mata kepala sendiri, karena biasanya cuma bisa lihat di televisi. Aduh, jadi pingin.. Memandang hamparan bumi di bawah sana, penuh dengan warna-warna permai.

Kapan ya bisa tercapai semuanya? Mungkin suatu waktu.. Kalau gue udah punya cukup tabungan untuk melakukan itu semua. Mungkin ada yang mau menemani? ;)

Sunday, August 3, 2008

Sebuah renungan di Black Canyon Coffee

Crab croquette dan pinacolada.
Nyangkut di Black Canyon Coffee di kawasan Cipete.
Sendirian.

Bukan itu inti masalahnya sih.
Cuma, sambil memanfaatkan fasilitas wi-fi gratis, gue memilih tempat duduk berbantal empuk di balkon, open air. Jakarta lagi ga terlalu panas, cenderung menyenangkan cuacanya, semalam bahkan sempat hujan. Sayang gue ga bisa menikmati kesempatan yang bener-bener jarang muncul itu. Hujan di bulan Agustus?

Jadi gue sesekali melepas lelah mata dari layar laptop dan memandang jalan raya yang tidak terlalu ramai oleh kendaraan. Memandang lampu-lampu yang tidak seberapa meriah dibandingkan kawasan Sudirman, Thamrin, atau Kuningan, gue sering membiarkan pikiran gue melayang-layang.

Gue seringkali mikir, andaikan gue bisa mengembalikan waktu ke tepat 24 jam yang lalu - sekarang 18.40 - apakah gue akan melakukan hal yang sama lagi? Tentu tidak. Sudah tentu seharusnya tidak. Bahkan kalau keadaan sudah sangat baik, gue akan berusaha lebih keras lagi supaya bisa lebih baik lagi dari yang sudah ada. Jadi, apalagi kalau keadaannya tidak terlalu baik.

Tentu, gue ga boleh menyesal. Akhirnya, alih-alih menyesali hal-hal yang sudah terjadi (ga ada gunanya, cuma bikin tambah bodoh aja, toh memang ga bisa lagi mengulang waktu), gue sekeras mungkin mencoba untuk bersyukur atas apa yang sudah terjadi. Mensyukuri yang indah-indahnya, dan juga menjadikan yang kurang baik sebagai tamparan, batu loncatan, untuk gue boleh belajar melakukan lebih baik lagi lain kali, tidak mengulang kesalahan yang sama.

Toh, bukan tanpa tujuan Tuhan memperkenankan semua perihal terjadi dalam hidup gue. Gue percaya Dia lagi 'mengukir' gue. Bo, ya, yang namanya diukir itu sakit banget lho.. Disayat-sayat, dikupas bagian yang jelek-jeleknya. Jahitan 5 di kepala aja udah bikin gila. Tapi hasilnya? Cantik dan sempurna. Maksudnya bukan jahitannya. Melainkan prakarya Tuhan mengukir gue :)
Cuman gue akuin, gue kadang suka lupa meminta persetujuanNya saat mau melakukan suatu hal.

Cuman penyakit gue akhir-akhir ini sama.. Gue seringkali, sengaja dan tanpa sengaja, menyakiti hati orang-orang di sekeliling gue, yang menyayangi gue, yang gue sayangi. Bego banget gue. Gagal jadi berkat. Kehilangan sayap malaikat.

Yah, lagi-lagi gue mengingatkan diri sendiri untuk senantiasa bersyukur dan meminta pimpinanNya dalam melakukan segala sesuatu. Supaya semuanya baik. Gue yakin Ia akan memampukan gue memperbaiki hal-hal tersebut..

Tuesday, July 29, 2008

Tuhan..

Tuhan,
pada saat ini aku tidak bisa ada bersamanya untuk menghiburnya,

karena itu aku naikkan permohonan supaya Kau mau menggantikan aku untuk ada di sampingnya, mendampingi dan menghiburnya.

Cuma Bapa yang aku percaya, dan Bapa jugalah kepada siapa aku percayakan dia. Tidak ada yang lain. Karena jika seandainya pun aku bisa bersamanya, penghiburan dan dukunganku tidak ada artinya dibandingkan yang bisa Kau berikan padanya. Yang Kau bisa lakukan pasti berlipat-lipat lebih banyak dan lebih indah. Lebih ajaib dan lebih mengagumkan.

Tuhan yang baik hati, kerahkanlah sepasukan lagi malaikat-malaikatMu untuk menghibur dan melepaskannya dari ketakutan. MalaikatMu yang paling jago nyanyi, paling jago main musik, paling jago menghibur, kiranya mau mengelilinginya dan mengganti kedukaan dengan sukacita.

Tidak apa-apa jika Tuhan melonggarkan sedikit pengawasanMu atasku, dan memakainya untuk memberi pengawasan dan perhatian dan perlindungan lebih untuknya. Aku rela.. Yang penting, dia yakin bahwa Tuhanlah kekuatannya, penghiburannya, pertolongannya, tempat persembunyiannya.
Hanya kepadaMu, Bapa, aku titipkan dia..

Sunday, July 27, 2008

Mimpi


Gue udah ga inget lagi kapan gue tidur tanpa mimpi. Kata temen gue, itu pertanda lagi banyak pikiran. Ga bener-bener tidur. Dan harus diakui, bikin sebel. Udah mah gue orangnya susah tidur alias insomnia, harus pake ditambah bermimpi pula. Bukan gimana-gimana sih, masalahnya mimpi gue tuh aneh-aneh, absurd, ga jelas jalan ceritanya, potong-potong kayak puzzle, dan beberapa bikin kesel. Masa setelah konser udah lewat beberapa hari, bisa aja gue mimpinya dimarah-marahin 'Koko' conductor tersayang :(

Dan banyak sekali mimpi yang kalau diinget-inget lagi, membuat alis gue terangkat dan kening berkerut. Aneh banget, ga masuk akal, dan banyak orang-orang yang udah lama banget gue ga pernah ketemu lagi. Yang lebih aneh lagi, mereka ini ada di dalam scene yang konteksnya samasekali ga ada hubungannya dengan mereka.

Tetapi kemarin untuk pertama kalinya setelah sekian waktu, gue terbangun dan tersenyum. Mimpi yang indah. Menyenangkan. Rasanya begitu nyata, bahkan sampai pada saat gue terbangun, seolah bener-bener terjadi. Memang bukan pertama kalinya gue mimpi bersama-sama dengan seseorang - dan mimpi-mimpi itu juga menyenangkan :) - tapi mimpi yang satu ini betul-betul membuat gue ga bisa berhenti tersenyum..

Senangnya kalau jadi kenyataan :)
Ayo tidurrrrr... Zzzzzz...

Friday, July 18, 2008

Deadline

Few days ago during dinner with friends, we talked and discussed so many things about deadline, what to do about it, how we can manage it, how to reach it, all stuffs related to deadline.

What is a deadline anyway?
Wikipedia says deadline is time limit: general depicts a narrow field of time that some sort of objective or task must be accomplished by. In project management, deadlines are most often associated with milestone goals.

There are many goals we (I) should accomplish within certain period, called deadline. Although sometime it seems too difficult for me to create my own deadline(s) - too many things to be considered and counted as the limit - the deadline still should be made and created, and of course to be obeyed and achieved perfectly.

Keterbatasan

If a man could be two places at one time
I'd be with you
Tomorrow and today
Beside you all the way


Itu adalah sepenggal lirik lagu 'If' yang dipopulerkan grup musik Bread tahun 1971. Lebih dari 30 tahun yang lewat. Tapi bukan itu yang mau gue angkat di postingan ini.

Bait itu mengatakan, kalau saja seorang pria bisa ada di dua tempat berlainan pada satu waktu yang sama, ia akan bersama dengan kekasihnya besok dan hari ini. Mustahil? Yup. Tentu saja.

Di dalam segala keterbatasan kita sebagai manusia, ingin rasanya bisa ada di beberapa tempat pada satu kurun waktu yang sama. Tapi bukan bicarain kloning ya. Bukan juga bicara soal membelah diri seperti amoeba. Mungkin gue terlalu menggeneralisasi dengan menyebut 'kita'. Tapi gue pribadi, ada saat-saat tertentu dimana gue ingin terus bisa bersama seseorang yang gue sayangi, tanpa terpisah jarak, waktu, kota, dan sebagainya. Contohnya kalau dia sedang bersedih, gue ingin bisa ada di sampingnya dan menghibur dia, menyenangkan dia, mendukung dia, namun pada ketika itu gue sedang di luar kota, misalnya.

Apakah pernah disadari bahwa kita memang sedemikian terbatasnya dalam segala hal? Kita dibatasi waktu, jarak, tempat, bahkan dibatasi tubuh kita sendiri. Berbagai dimensi yang ada membatasi kita. Kita terkungkung dalam itu semua. Kadang-kadang itu begitu depresif, membuat kita frustrasi, karena kita ingin melakukan lebih namun tidak bisa. Karena adanya batas-batas tersebut.

Di situlah kita kemudian belajar untuk tidak mengandalkan diri sendiri. Bodoh banget kalau mengandalkan kekuatan sendiri. Jelas-jelas kita begitu terbatasnya, masih keukeuh pula mau ngelakuin hal-hal yang kita ga bisa. Kegagalan adalah akibat yang paling mungkin terjadi. Perlu dicatat, gue bukan bilang orang ga boleh punya percaya diri, lho. Justru harus punya. Tapi yang perlu diingat, kita punya semuanya itu pun adalah pemberian Tuhan. Mintalah supaya kita dimampukan untuk mengelolanya dengan baik.

Di situlah kita kemudian belajar untuk menggantungkan dan menyerahkan dan mengandalkan semuanya pada Tuhan. Kurang ajaib apa lagi Dia? Dia samasekali ga terbatas apa-apa. Apalagi tubuh. Yang buat kita merupakan penghalang besar yang sulit dilalui, buat Dia samasekali ga ada apa-apanya. Dengan satu tiupan kecil napasNya, orang diberi kehidupan. Kalau mau mindahin gunung, hanya dengan ujung jari Ia bisa. Berada dalam seratus tempat dalam satu waktu, tentu mudah banget.

Di situlah kita kemudian belajar untuk percaya pada pendampingan, penyertaan, perlindungan Tuhan. Ia tidak akan membiarkan siapapun celaka, sakit, jatuh.

Itulah kenapa jika gue ingin sekali mendampingi dan menguatkan seseorang yang misalnya sedang bersedih hati atau galau dan gue ga bisa hadir di sana, gue minta Tuhan yang menggantikan gue. Apalagi, penghiburan dan pertolonganNya berlipat-lipat jauh lebih besar daripada apa yang bisa gue berikan seandainya pun gue bisa ada di dua tempat pada satu waktu (ya iyalaaah, justru Dia sumbernya).

Istilah slang gue, titipin aja semuaNya pada Tuhan :)

Wednesday, July 16, 2008

Lagi dan lagi..

Lagi dan lagi. Kayaknya gue ga pernah bosan menuliskan topik ini.

Salah satu hal yang gue sukai adalah ketemu dengan orang-orang baru. Gue suka membangun jaringan atau network, melanjutkan hubungan dari hanya sekedar relasi atau kenalan menjadi seorang teman atau sahabat. Di wawancara-wawancara kerja yang gue jalani, meeting new people, building and maintaining network and relationship adalah selalu menjadi salah satu hal yang gue tonjolkan kalau ditanya apa kelebihan gue.

Dalam kehidupan kita, kita sangat sering bertemu dengan banyak sekali orang. Bersinggungan dengan banyak sekali orang. Orang datang dan pergi di kehidupan kita dengan berbagai cara. Sebagian manis, sebagian pahit. Namun gue yakin kita akan menyetujui bahwa kalau kita yang jadi 'orang yang datang dan pergi' itu, kita pasti ingin punya kesan baik.

Baru-baru ini misi gue bertambah dalam hal gaul-bergaul ini. Gue pingin melakukan sesuatu yang lebih. Bukan lagi hanya sebatas membina hubungan baik, bukan lagi sebatas hubungan simbiosis mutualisme (saling menguntungkan, anyway that's what friends are for, kan?) tetapi berkembang menjadi 'gue pingin membawa pengaruh positif dalam kehidupan orang ini'. Membawa perubahan-perubahan baik dalam hidup seseorang yang gue temui. Menjadi berkat dan saluran berkat bagi seseorang yang gue temui.

Klise?
Mungkin. Yang gue ingin sampaikan sebetulnya lebih dari ini. Tuhan ngasi gue kesempatan untuk bertemu orang-orang. Gue pingin sebaik-baiknya menggunakan kesempatan itu untuk membawa kebaikan bagi orang-orang tersebut. Dipakai Tuhan untuk menyalurkan berkatNya dan damai sejahteraNya.

Sounds wonderful, isn't it? Jadi, mari kita sama-sama berlomba menjadi pembawa kebaikan bagi orang-orang sekitar kita.

Gue akan sangat terberkati dengan menjadi pembawa berkat.
I don't need any payment, I already have my return :)

Monday, July 14, 2008

Ada masanya..

Ya, memang. Untuk segala sesuatu ada masanya. Tidak perlu kuatir, tidak perlu galau, tidak perlu takut. Yang terpenting adalah selalu berserah diri dan percaya pada pimpinanNya, pada pendampinganNya. Tetap setia dan tekun, penuh pengharapan. Akan ada masa-masa yang baik, akan ada juga masa-masa yang tidak terlalu baik. Namun satu hal yang pasti, Tuhan akan menjadikan segala sesuatunya menjadi yang terbaik untuk kita.

Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya (Pengkhotbah 3: 1). Ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa; ada waktu untuk meratap; ada waktu untuk menari (Pengkhotbah 3: 4). Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir (Pengkhotbah 3: 11). Pada hari mujur bergembiralah, tetapi pada hari malang ingatlah, bahwa hari malang inipun dijadikan Allah seperti juga hari mujur, supaya manusia tidak dapat menemukan sesuatu mengenai masa depannya (Pengkhotbah 7: 14).

Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk (Ayub 2: 10)?

"Janganlah takut, sebab Aku menyertai engkau, janganlah bimbang, sebab Aku ini Allahmu; Aku akan meneguhkan, bahkan akan menolong engkau; Aku akan memegang engkau dengan tangan kanan-Ku yang membawa kemenangan (Yesaya 41: 10)."

Jadi,
Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur (Filipi 4: 6).

Friday, July 11, 2008

Identitas

Annie Braddock, si Nanny di film 'The Nanny Diaries', terpaku di kursi saat wawancara kerja, bingung bagaimana menjawab pertanyaan sederhana, "Who is Annie Braddock?" Sampai akhirnya ia keluar ruangan tanpa bisa menjawab.

Krisis identitas?
Bagaimana mungkin seseorang ga tahu siapa dirinya? Apa dan siapa yang dia lihat sebagai gambaran dirinya, apa yang ingin dia raih? Tujuannya?

Sebagian orang akan berpikiran itu tolol, sebagian orang akan setuju bahwa ada masa-masa di kehidupan mereka dimana mereka mengalami hal yang sama. Bukannya ga tahu apa yang sedang dilakukannya, bukannya ga tahu siapa dirinya, bukannya ga tahu apa yang diinginkannya, namun bahwa kadang-kadang mereka kehilangan pegangan, kehilangan arah, kehilangan aktualisasi diri, itu yang terjadi.

Dua pekerjaan terakhir yang gue peroleh, satu gue tinggal dengan walkout, dan satu lainnya di-walkout setelah selesai training hari pertama. Apakah memang kualifikasi gue cuma cukup untuk jenis kerjaan yang seperti itu? Sementara pekerjaan yang gue inginkan dan harapkan bisa gue raih, entah gimana kabarnya sekarang. Dua minggu genap berlalu hari ini, dan tidak ada kabar. Di satu pihak gue harus tetap semangat dan penuh harapan, namun di lain pihak gue begitu down gara-gara dua pekerjaan itu sehingga gue kehilangan semangat dan jadi malas.

Dalam keseharian, gue menikmati hari-hari bebas dimana gue bisa bangun siang, mandi siang, baca buku seharian di kamar sambil muter CD atau nonton televisi, atau browsing internet berjam-jam, memang, gue sungguh-sungguh berada di tengah-tengah comfort zone yang superstagnan, tetapi ada masanya juga gue menjadi begitu bosan dan ingin melakukan sesuatu yang lebih. Bosan tidak melakukan apa-apa, bosan tidak menghasilkan apa-apa.

Dalam rencana hidup jangka panjang, banyak yang ingin diraih. Untuk itu harus ada semangat, optimisme. Namun ada juga masa-masa dimana gue kuatir gue ga bisa meraihnya satu-persatu dalam tenggat waktu tertentu, hingga semangat itu terkulai. Rasa-rasanya seribu mimpi itu angan-angan muluk belaka.

Dalam mencari hiburan dan berbagi kesenangan, biasanya selalu ada tujuan jelas. Mau ke mana, mau ngapain, mau lihat apa, mau lakukan apa, jam berapa. Tetapi ada masa-masa dimana gue begitu galau dan terganggu oleh hal-hal lain, pikiran-pikiran lain daripada menikmati waktu yang sedang dijalani, sehingga semua rencana jadi berantakan, hiburan dan kesenangan pun hilang. Bingung mau ngapain, bingung mau ke mana. Tidak ada keputusan. Keputusan apa? Pilihan pun ga ada. Membuat pilihan pun sulit rasanya. Malas berpikir. Akhirnya semua jadi terasa dipaksakan. Acara jalan-jalan kali ini tidak begitu menyenangkan. Dan kegundahan sana-sini membuat gue jadi kehilangan cara berpikir dewasa, dan jadi kekanak-kanakkan.

Krisis identitas?
Di saat semua orang udah maju, teman-teman udah sukses atau paling tidak sedang menempuh kuliah lanjutan, rencana menikah, udah menikah, apapun itu terserah, gue masih di sini-sini aja. Stagnan. Stuck. Macet. Mandek. Tidak jelas. Tidak jelas mau ngapain, tidak jelas apa tujuan, jangankan jangka panjang, jangka pendek aja ga jelas, tidak jelas apa yang mau diraih, tidak jelas mau lakukan apa, tidak jelas mau membuat pilihan apa, membawa ke tidak jelas mau memutuskan apa...

Dan segalanya menjadi tidak jelas.