Saturday, October 8, 2011

warna

Mari kita ngobrol tentang warna.

Warna kesukaan gue?

Semenjak kecil sampai udah sebesar ini, warna kesukaan gue berganti-ganti. Dulu waktu masih sangat kanak-kanak, gue suka warna merah. Sampai-sampai rapot TK pun gue minta warna merah. Padahal kata teman-teman, merah itu artinya nilainya jelek. Akhirnya gue memang mendapat apa yang gue inginkan. Bukan merah yang artinya nilai jelek. Tapi rapot berwarna hijau, dengan gambar di atasnya ikan warna merah.

Nyokap gue suka dengan warna bumi, yaitu coklat dan hijau, sehingga baju-baju gue pun sebagian besar berwarna itu. Ga ngerti juga sih suka apa ngga dengan warna-warna yang 'dipaksakan' itu.

Menjelang abege sampai dengan pertengahan masa kuliah, gue menyukai warna hitam dan biru tua. Mungkin hitam mewakili sisi gue yang sebenarnya memang agak tertutup, sementara biru mewakili gue yang bisa misterius, bisa juga semangat.

Ya. Itulah. Gue si penyuka warna biru.

Lalu gue hari ini mengganti layout blog gue dengan warna abu-abu. Alasannya? Gue pikir karena pada saat ini terlalu banyak hal abu-abu dalam hidup gue. Banyak ketidakjelasan, banyak hal yang ga dimengerti. Ga tahu apa yang mau dilakukan, apa yang mau diputuskan, dikungkung kebingungan. Sekaligus banyak kekelabuan yang tersimpan dalam hati dan pikiran. Mendung yang mengancam akan hujan.

Berharap segera, entah kapan, ada warna lain yang datang memecah kelabu. Toh, gue pikir, pelangi juga ga seru dan ga cantik kalau warnanya hanya satu atau dua macam saja.

Sunday, August 21, 2011

Toleransi

Di jalan tol, yah, yang paling gampang sih tol Cikampek-Cipularang yang menghubungkan Jakarta dengan Bandung, ada rambu-rambu yang menyatakan batas terendah kecepatan berkendara adalah 60km/jam, dan batas tercepat adalah 80km/jam. Dengan kata lain, itulah batas toleransi yang diperkenankan bagi mobil-mobil di jalan tol.

Di Indonesia sendiri sih peraturan itu jarangggg banget ditepati. Contohlah gue, selalu memacu mobil rata-rata di atas 100km/jam, kalau beruntung bahkan bisa sampai 140-150km/jam. Lain dengan di negara-negara lain.

Oke, posting ini sesungguhnya bukan tentang mobil, tol ataupun batas kecepatan.

Berbicara tentang toleransi, yang mana sayangnya seringkali dilanggar, atau paling tidak dikompromikan, sebetulnya seberapa jauh sih toleransi itu diberlakukan atas suatu tindakan? Terutama jika menyangkut suatu relasi. Apa sih yang menjadi dasar ditentukannya suatu batas toleransi? Dulu di sekolah, ada batas toleransi keterlambatan, 10 menit. Ada batas toleransi panjang rok seragam, selutut. Ada batas toleransi kesabaran, yang mana pasti relatif bagi tiap orang. Apa sih yang sebetulnya dijadikan patokan?

Memang, diri gue yang sekarang mungkin lebih bisa mengembangkan batas toleransi kesabaran. Malah salah satu mimpi gue adalah bahwa suatu hari nanti gue bisa mencapai suatu titik dimana ga ada garis batas kesabaran. Juga demikian halnya dengan memaafkan.

Kalau disangkutkan dengan memaafkan, apakah toleransi itu berarti juga memaafkan sampai dengan batas tertentu? Tapi, bukankan kita harus selalu memberi maaf pada kesalahan apapun? Tapi kalau disangkutkan dengan kompromi, apakah maknanya jadi berubah? Karena, sepengetahuan gue, ada hal-hal yang punya harga mati, alias tidak bisa dikompromikan.

Pada akhirnya, kesimpulan gue ialah, toleransi memiliki beberapa kesamaan makna dengan memaafkan (namun tidak semua); toleransi memiliki beberapa kesamaan makna dengan kompromi (tidak semua); memaafkan memiliki beberapa kesamaan makna dengan kompromi (sekali lagi, tidak semua).

So. Sampai di mana batas toleransi kita bermain makna 'toleransi' ini?

Monday, August 15, 2011

Melangkah


Perubahan. Ada yang bilang revolusi. Ada yang bilang perpindahan. Tapi gue lebih suka menyebutnya melangkah, bergerak maju.

Dalam kehidupan nyata, melangkah secara harafiah tidaklah susah. Dulu waktu masih pergi ke sekolah Minggu, seringkali gue menghitung langkah gue dari rumah sampai ke sekolah Minggu, dan saking banyaknya, biasanya memasuki hitungan ke tiga ratus sekian, gue sudah lupa. Menunjukkan bahwa betapa biasanya kegiatan melangkah ini.

Melangkah, berarti melakukan suatu kegiatan transportasi. Meninggalkan satu titik dan tiba di titik lain. Berpindah. Bergeser. Bukan sekedar bergerak. Segampang itu, sebetulnya, secara kata-kata.

Tidak demikian jika menyangkut sebuah keputusan yang bukan lagi soal mengayunkan kaki. Menghidupi sebuah periode yang sangat luar biasa selama beberapa tahun, gue akhirnya memutuskan untuk melangkah keluar dari sebuah lingkaran, bergerak maju. Bagaimana gue tahu gue bergerak maju? Gue bergerak maju karena gue memasuki suatu masa yang baru, yang belum pernah gue alami. Fase baru. Level baru. Yang belum pernah ditempuh.

Sulit? Luar biasa sulit. Sakit? Pastinya. Keputusan yang akhirnya gue lakukan setelah berbulan-bulan lamanya, bahkan mungkin hampir setahun terakhir, digumuli. Sulit meninggalkan sebuah periode yang luar biasa. Sebuah periode yang mendewasakan gue, menumbuhkan gue secara iman. Sebuah periode luar biasa, dimana gue merasakan excitement hampir sepanjang waktu, getaran-getaran hangat yang menjalar di perut dan naik ke muka dan membentuk senyuman. Sebuah periode dimana gue merasakan kasih Tuhan mengalir lewat seseorang yang tanpa sengaja membawa gue mengenal Tuhan melalui berbagai-bagai peristiwa dalam hidupnya.

Sebuah perubahan yang sangat besar, drastis, signifikan. Melangkah keluar dari sebuah mimpi yang tadinya gue sangat yakini akan menjadi awal dari masa depan gue. Keluar menuju lahan kosong yang baru, yang entah akan membawa gue ke mana, tapi yang gue imani adalah sesuatu yang terbaik di sana.

Jadi di sinilah gue, lebih kuat, sekaligus lebih rapuh. Kuat karena gue sudah dan sedang dilatih, rapuh karena gue sangat membutuhkan Tuhan memeluk gue menjalani masa sulit ini. Melakukan langkah pertama ke fase yang baru. Gue rasa, inilah saat dimana cerita Footprints in The Sand sedang terjadi sama gue. Dimana di pasir hanya terlihat sepasang jejak kaki saja. JejakNya yang sedang menggendong gue.

Monday, July 11, 2011

Interpretasi

Gue banyak bergaul dengan istilah ini pada saat aktif-aktifnya di paduan suara. Singkatnya, pemahaman untuk membawakan lagu sesuai artinya, pesan yang ingin disampaikan, cara membawakan, emosinya, dan membawakannya dengan cara menyanyikannya, bukan hanya baca not.

Tapi bukan soal lagu yang mau gue singgung di sini.

Gue pikir, gue telah salah menginterpretasikan arti dari cinta. Jangan salah. Seharusnya, standarnya, idealnya, cinta itu menutupi segala kesalahan, sabar, murah hati, tidak egois, tidak buta, tidak memaksakan apapun yang bukan haknya. Cinta itu manis, lembut.

Tapi gue ada kesalahan dalam interpretasi. Saat ini, dua bulan terakhir ini, yang gue rasakan adalah sedih. Ragu. Perasaan negatif yang berkecamuk. Takut. Gundah. Gelisah. Marah. Murung.

Tapi apa yang salah sehingga gue salah menginterpretasikan cinta, gue sendiri bingung. Ga ngerti. Ga tahu harus mengusahakan apa. Ga bisa santai.. Seharusnya gue hanya perlu duduk tenang,diam, berharap dengan iman. Sepert Daud bilang, "I will be still, know that You are God."

Ini yang jadi PR besar gue.

posted from Bloggeroid

Tuesday, July 5, 2011

Idealisme, idealisme dan idealisme

Seberapa jauh sih sebetulnya kita mau setia?
Seberapa jauh sih sebetulnya kita mau tetap dengan pendirian kita, tanpa tergoyahkan?
Seberapa jauh sih sebetulnya kita mau mempertahankan idealisme kita?

Banyak berpikir, dan akhirnya gue menemukan salah satu dari segudang kekurangan sekaligus kekuatan gue. Idealisme. Standar.

Standar dan idealisme jugalah yang membuat gue terlihat seperti kutu loncat, berpindah-pindah dari satu perusahaan ke perusahaan lain, dari satu kantor ke kantor lain. Terlanjur nyaman dan akhirnya menerapkan sebuah standar atas diri gue sendiri, dalam hal pekerjaan, akhirnya gue menuntut yang sama dari pihak manapun, siapapun, yang mempekerjakan gue. Bertemu dengan sistem, dan jika ada satu hal saja yang ga sesuai dengan prinsip, gue memilih untuk beralih ke tempat lain yang gue harapkan sesuai dengan nilai-nilai yang gue anut.

Prinsip. Satu hal yang sangat berkorelasi dengan idealisme.

Hal itu jugalah yang membuat sekarang gue bertengger di kantor baru, kembali ke media dan PR Agency. Dan hal itu jugalah yang akhirnya membuat gue dan teman-teman memutuskan untuk membentuk usaha barengan. Dengan idealisme yang sama, prinsip yang sama, sistem yang sama, interest yang bertemu, kloplah sudah.

Standar dan idealisme jugalah yang membuat gue tetap setia dan bertahan dengan segala perasaan, iman, percaya, kepada satu hal yang sudah terbangun selama hampir empat tahun lamanya. Walau didera dari luar, didera juga di dalam, didera satu sama lain, tapi gue memilih untuk tetap tinggal, apapun resikonya. Idealisme jugalah yang membuat gue terus menggumuli hal ini, dan baru akan mundur kalau Ia sudah menyuruh gue mundur.

So intinya adalah, gue justru bergumul dengan idealisme dan prinsip gue sendiri. Yang sebetulnya adalah, gue harus belajar untuk menggunakannya sebagai kekuatan dan pijakan dan 'gift' untuk maju dan berkembang.

Wednesday, April 27, 2011

takut? tidak takut?

Baru saja mengikuti kuis online yang diadakan sebuah majalah lisensi yang fokus pada kesehatan mind, body, soul. Banyak pertanyaan mengenai, apakah kamu sudah merasa hidup secara maksimal, apakah pertumbuhan umur menakuti kamu, apakah bertambahnya umur semakin membuat kamu cemas, makin pede sama tubuh ga saat makin tambah umur, dan lain-lain.

Jujur, buat gue bertambah umur itu tidak menakutkan. Sama sekali. Malah kayaknya ada hal-hal baru yang ingin dipelajari, ingin didalami, mata makin terbuka akan banyak hal. Gue sama sekali tidak takut juga pada saat itu berkaitan dengan fisik, karena gue selalu jaga kesehatan jasmani dan rohani.

Bukan itu yang membuat gue cemas. Bukan kerut-kerut di sudut mata. Bukan juga karena bertambahnya umur berarti berkurangnya jam biologis. Bukan itu.

Yang membuat gue merasa agak mudah kalah dalam hal pertambahan umur ini ialah bahwa semakin dewasa, makin kompleks masalah yang dihadapi, sesuai dengan porsi umur kita. Jika kita masih kecil, masalah kita adalah bahwa kita harus pintar di sekolah, banyak teman, ga kuper, disayang guru, dapat nilai bagus. Memang betul, bahwa masalah-masalah pun menjadi tanda bahwa kita sudah 'naik kelas' dari grade sebelumnya. Kita bertumbuh. Tuhan pun memakai masalah dan pergumulan sebagai cara menumbuhkan kita.

Intinya, gue tidak sebetulnya tidak merasa takut. Tapi gue benci perasaan yang membuat gue tidak nyaman. Bingung juga tidak, tapi kesal karena merasa kesal. Gue tidak takut akan sebuah kehilangan; gue benci perasaan kehilangan. Gue tidak takut akan tantangan; gue benci kalau tantangan itu membuat perasaan gue susah dan sedih.

Banyak hal yang harus gue hadapi sekarang. Satu sisi gue tahu Tuhan lagi melatih kekuatan otot iman gue, namun di satu sisi gue merasa sangat lelah.

Wednesday, February 9, 2011

Ayam tumis cabe

Gue baru mencoba sebuah resep baru.. Entahlah ini apa judulnya.

Bahan:
- Dada ayam tanpa tulang, tanpa kulit, potong2 sebesar dadu
- 2 cabe merah, iris2
- 1 rawit or cengek, iris2 juga
- bawang merah 2 siung, iris2 tipis
- bawang putih 1 siung, memarkan, cacah halus
- 2 sdm minyak goreng
- sedikit air
- bumbu teriyaki Saori (harus nyebut merk karena ini yang gue pake) secukupnya

Cara membuat:
- Tumis minyak goreng bersama cabe merah, rawit, bawang merah, bawang putih
- Masukkan sedikit saja air
- Masukkan bumbu teriyaki
- Aduk rata
- Masukkan daging ayam
- Aduk rata (sampai si ayam matang)
- Sajikan

Catatan:
Less sugar, less salt, less cholesterol, less fat, high protein. Cocok buat yang diet. Yang penting mah enakkkk!