Wednesday, June 13, 2007

Legnano (part 3)


Ambulance itu warna putih, dengan garis merah di sampingnya. Seukuran ambulance pada umumnya. Tapi ga kayak di Indo yg bentuknya ga ada idungnya, ini kayak model2 mobil yg ada idungnya. Sama kaya di film (again). Kayak kotak sabun gitu.

They drove slow and gently, dan suara sirene nembus malem. Abah was told not to let me sleep, and I know as well bahwa gue ga boleh tertidur. Padahal ngantuknya gila, sakit mulai berubah jadi rasa ngantuk. If I fall asleep, I might not wake up ever.

Jadi sepanjang jalan Abah ngajak ngobrol, he said it was alright to close my eyes if I feel dizzy, but try not to sleep,and keep my ears open. Sesekali gue buka mata, coba liat ke luar, tapi karena gue berbaring jadi yg gue liat cuma pohon n lampu2 jalan. Gue liat2 dalem ambulance. Lengkap banget bo! Jangan harap deh ambulance di Indo kayak gini. Believe me, I know it. Dulu waktu bokap masih ada, beberapa kali dia pernah diangkut ambulance dan gue ikut di dalemnya. Ga kaya gini deh!

Sebelah kanan gue ada tabung oksigen kecil, ada masker oksigen, tensimeter, anything you need for first help. Lupa apa aja sih, tapi semua yg penting untuk pertolongan pertama ada di sana. Sebelah kiri gue ada jok kecil, which now Abah sat on there, dan berbagai perlengkapan paramedic.

Finally we got to the hospital, where they immediately took me to the ER. Abah cuma boleh nganter sampe ruang depan, masuk ke pintu selanjutnya I must go and fight by myself. He encouraged me, he said he will wait right there if I finished. Beneran, gue takut. I didn’t know what would happen in there.

Gue dibawa ke satu bilik, ada ranjang n ada dokter udah nunggu gue di sana, lengkap dengan pasukan nurses. Gue dibantu turun dari ranjang untuk naik ke ranjang satunya (honestly I forget the detail. Apakah gue diangkat pindah atau gue disuruh bangun dan pindah?). Dan di ranjang itu, penderitaan selanjutnya dimulai.

What made me more afraid adalah bahwa di situ gue sendirian. I didn’t know these people. They even speak in different language, a language I really don’t understand.

They surrounded me and took away the ice bag. Udah cair juga lagian. I was told to stay calm, not to panic. Mungkin itu ya yg mereka bilang. Secara ngomong bahasa Italy. Tapi mereka juga baik, walau cerewet tapi mereka dgn bahasa mereka berusaha nenangin gue, encouraging me.

Sekian detik kemudian, I never know that kind of pain before. They shaved my hair, dan tentunya itu kena lukanya, dan area sekitarnya yg memar. Pake silet bo. Omigod. Spontan teriak dong. Rambut gue bagian itu dicukur abis, dan kerikan silet itu perih banget. Belum cukup itu semua, setelah bersih dari rambut, mereka nyiram lukanya dengan alkohol. Dan diseka pake kapas dengan ga pelan2. Please deh. Gimana gue ga teriak2?

Yang bikin tambah kesel, tau dokternya bilang apa? “Miss, I know that you are so much in pain, but please keep quiet!” Lah lu mana tau sih ini sakit kayak apa?? Kalo ga inget lagi di’beresin’, gue pasti udah bangun dan maki2 tuh dokter.

Sebaliknya, gue berusaha tenang. Kalo ga tahan, baru deh gue sedikit ngerang. Sisanya? Gigit bibir. Jadi, selama luka gue dijahit - tadi tuh belum dijahit lho - I tried so hard not to scream. Tears fell down, Omigod sakitnya.. I got five stitches. Tanpa bius. Gue merasakan dengan syaraf gue sendiri, yg bangun 100%, jarum itu keluar masuk kulit kepala gue, benang yg kasar keluar masuk kulit kepala gue. Sampe lima kali. Tajam, sakit, perih, sereset waktu benangnya ditarik..

Setelah itu salah satu dari perawat bilang, “Ok!” and I knew it was over. Thank God. Dibersihin sekali lagi, this time gently, dan lukanya lalu ditutup perban putih besar. Setelah itu kepala gue dibungkus sesuatu seperti topi yg melekat di kepala, kayak yg dipake atlet sepeda di dalem helm mereka. Putih, jaring2, dan dikalungin ke bawah dagu supaya ga geser2.

Satu perawat tersenyum sama gue, dan dengan bahasa Inggris yg seadanya dia nanya apakah gue masih kesakitan. Yeah, of course, tapi gue cuman senyum n ngangguk. She then asked me to change my position to get injection. Kapan sih gue terakhir disuntik? SD?

Setelah disuntik, dokternya nyamperin – kali ini dia baik bo – dan bilang 10 hari lagi gue harus kembali untuk lepas jahitan. Sebaiknya gue juga cek ke dokter pribadi gue (yeah, right, di Indonesia?). Besok gue harus kembali ke sana untuk foto radiology dan lain2. Now I may go home.

Dituntun perawat, gue jalan pelan2, agak sempoyongan. Pintu ngebuka, and there they were.. Berenam. Ida, Dody, Wimam, Ivan, Didut, Abah. I sat on the chair, Ida n Abah makein jaket. Baru gue liat saat itu piama gue banyak noda darah.

Semua pada ngelilingin gue. Relieved, atau emosi segala macem, tiba2 ga bisa dicegah gue nangis. Hehehe.. Akhirnya lewat juga ya.. And I was not alone :)

Seseorang dari rumah sakit berbaik hati nganterin kita pulang ke hotel. Susah cari taxi. Apalagi jam 3 pagi kayak gitu. Jam 3?? Yup.. Sayangnya dia cuma bisa ngangkut tiga orang. Jadi yg pergi gue, Ida, Abah. Maap teman2 :P apalagi, gue belakangan diceritain, mereka baru banget aja nyampe.. Took 20 minutes to get there, and they were walking.

Sampe hotel, belakangan gue diceritain bahwa pihak hotel ga mau nanggung kejadian tersebut. Haha..ya sudahlah, toh gue juga selamat kan..Si concierge yg tadi nganterin secangkir hot tea. Ida bantuin gue siap2 tidur, benerin posisi dll. Minum teh, dikasi ponstan (punya Dody), dan ngobrol2 bentar.

Beberapa menit kemudian anak2 nyampe, langsung pada ke kamar. The next thing was: Taking a picture! Momen2 kaya gini harus diabadikan. Won’t happened again :D
Gue mulai ngantuk, efek suntikan n ponstan, dan anak2 juga pada cape. Satu2 mulai balik ke kamar masing2.

Begitulah kita mengakhiri hari. I closed my eyes on Sunday, 12 June 2006, 03.45 a.m.

What a day. What a night.
Thank you, my friends, thank God.

No comments: